Cengkraman Kasih

Aku sungguh cinta keluargaku
dan ini begitu dalam
pernah perasaan ini benci
karena ‘kemelaratan’. Tapi
begitu tahu bahwa cinta merekalah
yang telah membesarkanku
kebencian itu redam
aku kini tunduk
dalam cengkraman jemari
cinta dan kasih mereka.

Posted in Renungan | Leave a comment

Prescriptive atau Descriptive?

Pagi ini, Kamis, 26-04-2012, seorang kolega bertanya: bagaimana menurutmu Cak tentang bahasa alay? Saya jawab kalau saya tidak tahu. Prinsipnya tidak mengerti memang makna tentang bahasa alay itu sendiri. Belum pernah mendengarnya. Akan tetapi, kolegaku kemudian mengklarifikasi pertanyaannya yang dimaksud. Rupa-rupanya bahasa alay, menurutnya (kuranglebih), adalah bahasa gaul atau bahasa anak muda.

Terus saya pikir bahwa pertanyaannya terkait dengan antilanguage (youth language). Antilanguage itu sendiri merupakan variasi bahasa dalam komunikasi sosial yang menandakan identitas latar belakang sosial penggunanya, misalnya kelas sosial atau pendidikan.

Montgomery (1995, p. 96) mendefinisikan antilanguage sebagai versi bahasa ekstrim yang dipraktekkan oleh sekelompok sub-kultur atau grup yang “dimarginalkan”. Berdasarkan pandangan tersebut, antilanguage dipandang sebagai protes terhadap kemapanan sosial, yang secara linguistiksnyapun, cendrung mengagungkan norma-norma bahasa (linguistic norms).

Penyebaran antilanguage ini lebih cendrung tumbuh dan berkembang pada dan terbatas pada sekelompok masyarakat minoritas golongannya. Corak linguistiks antilanguage ini meliputi releksikalisasi (relexicalisation) misalnya pendekatan metafora (penggunaan kosakata yang sama dengan berlainan makna / the meaning of words isn’t a fixed thing. Any word can mean anything), kosakata pinjaman (borrowing) dengan tetap mempertahankan pola kalimat (grammar) bahasa yang bersangkutan.

Bagaimana antilanguage ini lahir? Tentu menjawab pertanyaan sederhana ini, saya akui, butuh kajian perkembangan atau perubahan yang kompleks yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Merujuk pada perkembangan bahasa Inggris, kita mengenal istilah received pronounciation (RP) yang dikenalkan oleh Daniel Jones (1917). Istilah tersebut menandakan standard bahasa Inggris yang diajarkan disekolah-sekolah formal di bagian selatan Inggris, Oxford. Standarisasi RP ini tidak hanya berdampak pada penyekatan eksistensi dialek lokal, akan tetapi semakin menjelaskan kelas-kelas sosial penggunanya. Oleh karenanya, pengguna dialek diluar RP lebih cendrung dikaitkan dengan kelas sosial menengah kebawah (working class) dan judmen sosial poorly educated society (Yule, 2012, p. 86). Dari kelas sosial inilah, lahir anti kemapaman yang melawan atas hukum-hukum bahasa yang berlaku (Krisberg, 1972, p. 69 dikutip dari Brown, 1992, p. 5).

Bahasa alay ini, dalam konteks keindonesiaan, secara pribadi saya cendrung menggolongkan sebagai salah satu dari bentuk dari antilanguage, keluar dari kemapanan, hanya saja lebih terfokus pada bahasa tulis (non-interactive text). Bagaimana bahasa alay ini mencerminkan salah satu bahasa “penyimpangan”? Dari perspektif preskriptif dan deskriptif bahasa alay akan dianalisis.

Bahasa alay merupakan bahasa yang cendrung digunakan dalam pergaulan sehari-hari umumnya dalam komunikasi elektronik, seperti facebook, twiter dan atau pesan lewat hp. Ciri penulisannya berkarakter misalnya dapat berupa pengurangan atau penyingkatan kata, baik bahasa lokal maupun asing. Misalnya, ucapan terima kasih, biasa disingkat tq yang maksudnya thank you. …mLm jum’at kok aCra tipi niè horor smw toh?? >.<. Begitu banyak contoh yang bisa kita dapat dari media jejaring sosial seperti facebook tersebut.

Dilihat dari contoh tersebut, jelas kaidah penulisannya tidak mengikuti sebagaimana mestinya. Terdapat banyak simplifikasi dan penyimpangan kaidah penulisan huruf kapital ditengah kata. Karena salah satu alasan tersebut, kenapa saya pribadi lebih cendrung menggategorikan sebagai antilanguage. Akan tetapi, fenomena tersebut juga jelas menunjukkan pergeseran dari kaidah-kaidah baku dengan mengabaikan konsep benar-salah dalam bahasa (Aitchison, 2003, p. 5). Pendekatan inilah yang dalam linguistiks kita sebut sebagai descriptive approach.

Yule (2012, p. 86) berpendapat bahwa descriptive approach merupakan usaha untuk menggambarkan regular structure dari suatu bahasa tertentu sebagaimana ai digunakan, bukan menurut beberapa pandangan bagaimana “semestinya” bahasa itu digunakan. Dalam pendekatan ini, grammar sangat dipertimbangkan. Aturan-aturan baku bahasa (Inggris) ini merujuk pada referensi yang memiliki pengaruh kuat dimana kajian tersebut menegaskan adanya pengaruh tradisi tatabahasa Latin dalam bahasa Inggris sebagai rujukan bahasa yang baku. Buku tersebut ditulis oleh Bishop Robert Lowth (1762) dengan judul A short introduction to English grammar with critical notes. Jadi jelaslah, contoh seperti penulisan mLm pada kata malam, atau tq untuk thank you terjadi penyimpangan dari kaidah baku dari sistem penulisan kedua bahasa tersebut.

Sehingga, pendekatan deskriptif ini bertolak belakang dengan pendekatan preskriptif yang mengedepankan kaidah-kaidah baku penulisan bahasa. Menurut Fromkin dkk (1996, p. 15) menyatakan bahwa pendekatan preskriptif ini mengembangkan tatabahasa (grammar) yang didasarkan pada bahasa Latin. Secara umum, menurutnya, pendekatan preskriptif merupakan “is not to describe the rules people know, but to tell them what rules they should know”. Adapun kaidah bakunya (dalam bahasa Inggris) meliputi:
– Dua kalimat negatif akan menjadi kalimat positif (I don’t have none)
– Kata sifat jatuh sebelum kata benda (The big house)
– Setelah bentuk komparatif, selalu diikuti oleh subject pronouns (You are fatter than I bukan, you are fatter than me)
– Kalimat tidak bisa diakhiri oleh preposisi
– Tidak pernah menyekat kata kerja infinitif (to go boldly bukan to boldly go)

Sebelum penerbitan buku yang dimaksud, A short introduction to English grammar with critical notes, secara umum masyarakat mempraktekkan corak penulis yang bersebrangan dengan kaidah-kaidah seperti di atas. Bentuk penulisan seperti I don’t have none, sebagai dwifungsi negatif, You are fatter than me, kalimat perbandingan yang diikuti oleh preposisi adalah semisal contoh umum yang berlaku di masyarakat. Praktek-praktek tersebut kemudian berangsur-angsur berubah mengikuti pola-pola yang diperkenalkan oleh Lowth sebagai “penentu” bagaimana penggunaan bahasa (Inggris) yang semestinya (Fromkin et al., 1996, p. 14-15).

Sementara dalam konteks bahasa Indonesia, panduan yang sering kita gunakan untuk merujuk pada kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baku adalah EYD (Ejaan yang disempurnakan). Adapun pedoman umum yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, RI salah satunya menyebutkan tentang penulisan huruf kapital. Menurutnya (hal. 18) bahwa pada awal kalimat, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata. Jelaslah contoh yang dipaparkan di atas mengikuti diluar kaidah baku bahasa Indonesia.

Dengan demikian, memang bahasa alay ini cendrung keluar dari ketetapan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, sebagaimana bahasa Inggris yang tak lagi mengindahkan aturan-aturannya. Dapat disimpulkan bahwa bahasa alay ini merupakan bahasa yang menempatkan pentingnya penggunaan bahasa dalam sehari-hari (descriptive approach) dari pada “terikat” pada kaidah-kaidah baku yang mengelangkengnya (prescriptive approach).

Referensi:

Brown, R,. H,. (1992). Society as text. The University of Chicago Press: Chicago & London.

Montgomery, M. (1999). An introduction to language and society. Routledge: London.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasiona, Republik Indonesia. (2009). Pedoman umum ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan dan pedoman umum pembentukan istilah. Bandung: Pengarang

Yule, G. (2012). The study of language. Cambridge University Press: Cambridge.

Posted in Linguistics | Leave a comment

Bahasa Iklan Bisa Menjebak?

Kemaren malam, tepatnya hari Jumat, 20-04-2012, saya membaca posting email salah seorang rekan dalam komunitas tertentu. Tulisan tersebut secara khusus mengulas hubungan bahasa dan iklan. Judul asli tulisan tersebut adalah “Mencermati “Jebakan” Bahasa Iklan”.

Sepertinya saya menyadari saya telah “terjebak” dengan tekhnik “directive”-nya penulis ini, bagian “personalisasi” yang dikembangkan pada kalimat “Selanjutnya klik : http://us.ureport.vivanews.com/news/read/306030-mencermati-jebakan-dari-bahasa-iklan&#8221;. Lebih-lebih kandungan kalimat sebelumnya (Nikmati refleksi tentang jebakan basasa iklan.) . Atau bisa jadi ketertarikan tersebut dilatarbelakangi adanya frase “jebakan bahasa”? Akhirnya sayapun membaca.

Sepanjang pemahamaan saya atas tulisan yang dimaksud, menegaskan bahwa bahasa tidak bebas nilai, pun bahasa iklan. Saya juga pernah berkunjung ke kantornya seorang kolega, Band Didik dan Bang Dodik (jurusan Populasi) di Flinders University dan atau siapa aja yang bermukim di situ, dan mendapatkan potongan-potongan kalimat yang tertera di papannya: “language is not only a tool of communcation“. Samar-samar, kalimat tersebut juga diikuti oleh supporting idea(s). Tapi tidak jelas (banyak bagian yang terhapus). Kalimat itu, lepas benar atau salah, benar-benar kutanam dalam ingatanku. Karena terdapat materi seperti tersebut di atas, dalam diri jadi tidak mengerti, kira-kira konsentrasi mereka (Band Didik & Band Dodik) itu tentang Populasi atau Bahasa? Atau mereka fokus pada ranah penggunaan bahasa (linguistics) dalam interaksi sosial (sociology)?

Point-ku adalah bahwa bahasa (lisan ataupun tulis) tersebar di mana-mana dan materi itu bisa menjadi bahan kajian dalam disiplin ilmu Sosiolinguistiks. Seperti yang dicontohkan dalam tulisan tersebut, bahasa iklan. Dimaksudkan hanya untuk membubuhkan dari apa yang telah penulis uraikan dalam tulisannya, pendekatan “functional text analysis”, saya yakin dapat diterapkan dalam konteks ini. Pendekatan ini menyediakan ruang baca atas teks baik dari sudut pandang penulis, pembaca dan ataupun bahasa sebagai sentral bahasan itu sendiri.

Apalagi jelas-jelas penulis menyatakan secara gamblang bahwa tulisannya akan menguraikan jalinan hubungan antara penulis (pembuat iklan atau lebih tepatnya pemesan iklan) dan pembaca (audience), dengan demikian jelas pulalah spesifikasi domain minatnya, tenor. Kajian “tenor”, terutama dalam non-interactive texts seperti bahasa iklan ini, menyisakan banyak pertanyaan dikarenakan ketidakhadiran penulis atau anonymous dan pendengar dalam rentang komunikasi tertentu. Dengan kata lain, kita tidak (pernah) sungguh-sungguh tahu siapa yang menulis iklan yang kita baca. Begitupun sebaliknya, meskipun sudah jelas bahwa iklan memiliki pesan tertentu yang ditujukan pada pembaca, merekapun tidak (pernah) tahu kira-kira siapa saja, baik latar belakang pendidikan, ekonomi dan atau politik) yang akan membaca iklan mereka. Yang kita tahu sehemat saya, kita sebagai penulis, iklannya laku atau tidak sangat bergantung pada indikator yang merujuk pada tingkat penjualannya (jika hasil produk tertentu) atau tingkat popularitasnya (dalam aktivitas kampanye dan hasil akhir pemilihan) naik atau terpilih. Sementara, yang kita tahu, kita sebagai pembaca (audience), iklan yang dimaksudkan sukses atau tidak, jika kita, entah dapat mewujudkan hasratnya ataupun masih dalam taraf keinginan untuk mewujudkannya (dalam istilahnya Goenawan Mohammad, kita yang terpukau), dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh iklan yang ada. Pada pokok terakhir inilah, bahasa iklan seringkali bekerja dibawah alam kesadaran kita sehingga kita pembaca (aundience) lebih cendrung berprilaku sebagai unconscious consumers.

Saya membaca harian TEMPO edisi 26 Februari 2012 yang menguraikan fenomena pola prilaku konsumtif saudara-saudara kita di Indonesia. Tulisan tersebut menguak bagaimana mereka yang beranjak atau yang sudah naik kelas cendrung bergeser pula pola konsumsi mereka. Atau dengan kata lain, bagaimana mereka menjalani hidup setelah naik kelas menjadi liputan menarik (bagiku) dalam kolom tersebut.

Berdasarkan temuan mereka, keberadaan jumlah kaum kelas menengah di Indonesia semakin menunjukkan angka yang signifikan tinggi menyaingi negara-negara Asia yang lain seperti Cina dan India. Itu berarti secara ekonomi masyarakat Indonesia terus menuju pada tingkat kemakmuran yang tak perlu “dikhawatirkan”. Contoh transformasi prilaku ekonomi dapat dilihat pada bagaimana kelompok kelas menengah ini terus menunjukkan eksistensinya dengan salah satunya lewat fashion. Dengan pola konsumsi seperti tersebut, seolah-olah, mengutip bahasanya Gerung, consumo ergo sum (belanja makanya ada). Sehingga tidak perlu heran jika terdapat, meskipun segelintir, orang yang mau berburu merek-merek tertentu yang harganya tak kepalangan tanggung ke negara asalnya. Setelah membaca tulisan tersebut, barangkali diantara kita merasa tidak percaya, bahkan menganggap mustahil, atau bertanya-tanya, masak sampai segitunya. Menurutuku bisa jadi laporan tersebut berlebihan. Akan tetapi, berdasarkan fenomema prilaku konsumtif kelas menengah yang pesat tersebut telah menjadikan Indonesia negara penting di Asia.

Kembali pada pokok tulisan dalam artikel yang dimaksud, terutama pada paragraf terakhir tentang bagaimana menyikapi bahasa iklan tersebut, kitapun bisa mendekatinya tetap dalam bingkai functional textual analysis pada ranah tenor tadi. Ada beberapa pokok penting yang menjadi sub-bab kajian tenor ini, yaitu personalisation, standing dan stance. Hanya saja tulisan ini lebih mencondongkan pada bagian stance; how much the author allows reader(s) to (agree) or disagree with the content (Mechura, 2005).

Bahasa apapun yang digunakan dalam iklan, baik hasil produk-produk tertentu atau aktivitas kampanye, berdasarkan stance ini, selalu terdapat ruang bagi pembaca (audience) untuk bersikap, baik menyetujui atau sebaliknya. Bahasa iklan tersebut mengandung attitude, baik asserted, assumed atau triggered attitudes. Jika kita membaca iklan, apapun iklan tersebut, baik di sepanjang jalan Thamrin di Jakarta (saya belum pernah melewati jalur yang ini sejatinya 😉 ) atau di sini di Adelaide, kita bisa perhatikan jenis bahasa yang digunakan. Apakah pengiklan secara gamblang meyakinkan atau memotivasi pembaca supaya membeli produknya atau memilih kandidatnya, atau dengan samar-samar atau justru menuntut pemahaman kita akan makna disetiap balik gambar atau kata yang mereka pampangkan. Jika kita tidak mau menjadi “korban” dari iklan tersebut, ada baiknya kita melakukan kroscek (entah dengan berbagai cara) akan kebenaran iklan tersebut. Prilaku inilah dalam analisis teks kita sebut “epistemic modality“.

Dengan demikian, barangkali solusi yang ditawarkan Penulis supaya lebih well-informed akan bahasa iklan menjadi stand point untuk meminimalisir dampak (yang tak diharapkan) yang ditebarkan oleh iklan. Sehingga kita bisa memilah apa-apa yang benar-benar menjadi kebutuhan kita atau kandidat yang mana yang dapat mewakili suara kita. Memang, menurutku pribadi, kita sama-sama memiliki kapasitas dan kapasitas tersebut pada awalnya bisa jadi setara dan kapasitas tersebut berangsur-angsur berat sebelah yang dipengaruhi salah satunya oleh faktor lingkungan, baik untuk memilih “terjebak” dalam bahasa iklan atau tidak, meski hal ini bukan pekerjaan mudah. Sehingga pada akhirnyapun semuanya akan kembali kepada kita, keputusan yang nantinya memicu pembentukan prilaku dibawah alam sadar, entah kita akan menjadi, mengutip dalam tulisan Goenawan Mohammad, kita berperan sebagai flaneur (seorang pejalan yang asyik melihat-lihat dengan tatapan terarah seorang detektif) atau badaud (pejalan dikerumunan yang menatap dengan terpukau) dalam spektakularisasi interaksi visual.

Awalnya saya “terpukau” untuk membaca artikel tersebut hanya karena judul tersebut: “Mencermati “Jebakan” Bahasa Iklan”. Hanya saja saya kemudian menjadi heran, heran akan satu pertanyaan: memangnya iklan bisa menjebak? ataukah kita bisa uraikan lagi (paraphrase) menjadi: Iklan tidak menjebak. Orang menjebak orang?.

Posted in Tanggapan | Leave a comment

A Reviewed Article: Doing Disagreement at Work: A Sociolinguistics Approach by Holmes & Stubbe

Introduction

Research on sociolinguistics such as in the area of organisational behaviour and business communication is important. Domain of organisational interaction has been a focus of social investigation where the linguistics usage can also be critically analysed. However, the authors of this article claimed that it has been rarely explained explicitly on how power is communicated and enacted among participants through daily communication in organisation. This article, thus, tends to fill this gap by looking deeper at those contextual factors which play a significant role at the interpersonal exchange level.

In this article by using a sociolinguistic approach the researchers investigate the role of power mainly focusing on the way participants “do disagreement” which they contend is inevitable in the workplace setting and they illustrate some distinctive differences between different cultures from one workplace to others. More than that, this investigation also uses the more specific sociolinguistic model of interpersonal interaction called politeness strategies to see how different power of participants who hold different position express their disagreement in a “conflicting” discussion. But before coming to the findings of this research, this review also presents the theoretical frameworks provided by the authors.

This section outlines the comprehensive theoretical basis to the analysis. In the theoretical background, the authors suggest a number of issues related to the topic under discussion such as modelling conflict management, discourse analysis and politeness theory. In each main point, the relevant theories are presented to support the study.

Regarding the issue of modelling conflict management in workplace settings, Rothwell (2000, p. 253-257 cited in Holmes & Stubbe, 2001) suggests five typical examples on how disagreement or conflict is handled: collaborating, accommodating, compromising, avoiding and competing. Those are the common models applied by the participants when any conflicting occasion emerges. The authors maintain that even though conflict is an inevitable element which can’t be eliminated in workplace settings, it doesn’t mean that conflict only contributes to the negative results in seeking to solve a problem. Indeed, open communication can lead to more constructive solution to problems because the satisfying or acceptable decision couldn’t be reached until a kind of consensus has been agreed. Therefore, the existence of the conflict can’t be seen only from negative associations such as “war”, “fight”, “explosive situation” as it is likely usually a metaphor that comes up spontaneously when we hear the word “conflict”.

The researchers follow Rothwell (2000, p. 254 cited in Holmes & Stubbe, 2001) who ranks their strategies from the most to the least frequently used in conflict management. On the basis of research into management styles, he has found that collaborating is the most constructive style of conflict management and avoiding and competing are considered to be the least constructive. Those models highlight the close association between the constructive expression of conflict or disagreement and effective problem-solving and decision-making process. In collaborating style, he suggests that participants are more open to the discussion by bringing their different viewpoints to be carefully examined and discussed. Moreover, the collaborating behaviour tends to allow more room for participants to display their position for all so that they can fully understand others’ opinion and other alternatives suggested by other participants.

In the second analytical model, the authors (2001, p. 57 cited in Brown & Levinson, 1987; Bulbitz, 1988; Edmondson, 1981; Wootton, 1981) have shown that disagreement is a “dispreferred” speech act. Sacks (1987 cited in Holme & Stubbe, 2001, p. 57) has observed that in question-answer sequences “yes” is a much more frequent answer than “no”. Indeed, this evidence shows that “yes” is a “preferred” speech act. It can mean that more people tend to maximise the potential agreement instead of disagreement among interlocutors. Based on his research, it is not always possible to avoid expressing disagreement, therefore linguistic strategies occur to set a better communication. According to the authors, how people do disagreement and what strategies applied in the workplace context, this point can best be explained by politeness theoretical perspective.

Brown & Levinson (1987, p. 69 cited in Holmes & Stubbe, 2001, p. 57) argue that the disagreement can be expressed either “off record” or “bald-on-record”. The “off record” actions are phrased ambiguously so that the actor cannot be held to have committed himself to one particular intent. In other words, there is an open-ended interpretation to the hearer(s) because the disagreement is conveyed in more subtle or implicit way of communication. the off-record strategy is indicated by the use of the number of politeness strategies such as hedging, apologising or indirectness used by the speaker to mitigate or attenuate the potential face threatening actions.

On the other hand, Brown and Levinson (1987, p. 69 cited in Holmes & Stubbe, 2001, p. 57) also suggest that speaker can do “bald-on-record” to demonstrate the speakers’ refusal to the previous statements/arguments. This action involves as the most direct, clear, unambiguous and concise possible way in denying or contradicting a statement with no attempt to soften the disagreement.

Method

The data was taken from formal meetings in professional workplaces in the government and corporate sectors in New Zealand. The meetings were equipped with an unobtrusive recorder over a certain period of time. With the explicit knowledge and agreement of all involved. The recorded conversation includes short telephone calls of less than a minute to long meetings that last more than four hours.

Results

This article focuses on strategies people use in expressing disagreement in a specific context: the formal workplace meeting in New Zealand. There are four excerpts (1, 2, 3 and 4) as analysed examples related to the topic.

The general results indicate that there are a number of strategies speakers use to demonstrate their opposition in those formal meetings. One of the evidence demonstrates that disagreement or opposition is expressed overtly or in Brown & Levinson’s term called “bald-on-record” strategies. From the examples 1 & 2, we can find how more powerful participants typically express disagreement more confrontationally. The first example shows how Eric (in example 1) confronts his colleague, Callum. Eric as the expert in this particular area, initially uses the conventional disagreement employing an initial agreement “yeah” followed by “but” (line6).

Example 1

1 Collum: what we’v- what we’ve actually decided to do is
2 er test it by asking by losing some data or pretending to lose some
3 something significant like everything that’s in [technical term]
4 like all our documents and all our code
5 Barry: [laughs]
6 Eric: yeah but d-
7 Collum: and then asking them to restore it

However, Eric’s disagreement is getting more overt to assert his confrontation to Callum. This explicit assertion occurs when Callum further explains his idea of pretending to lose some data. He reinforces his opposition by saying “don’t do that at all” (line 13). According to Holmes & Stubbe (2001, p. 59), the main reason why Eric does disagreement in more explicit and apparent way can be analysed from sociolinguistic aspects. Accordingly, this is because 1) the discussion or confrontation takes place in formal meeting where the efficiency is more important than face consideration; 2) Eric has some authority represented by his expertise or significant imbalance in power between speaker and hearer. So it is clear from the data that those in positions of authority and power tend to give more instructions and more advice directly (Holmes, Stubbe, & Vine, 1999; Vine, 2001).

Examples 3 & 4 (cited below) illustrate the consensus-seeking and cooperative response to the expression of disagreement where hierarchical relationships are played down and authority is not paraded explicitly. In particular example 3 reveals how disagreement and conflict may emerge gradually and be expressed over several turns rather than being neatly located at a single point in interaction.

Example 3

1 Jake: he’s also very popular locally as well
2 ’cause he actually looks after his workforce he’s jkept them\
3 Stuart: loh right\
4 Jake: he’s kept them on payroll while there’s been no stuff
5 going through the factory he’s he employs far more people than
6 than COMPANY NAME across the ro- er
7 Stuart: no
8 Jake: across the way he’s he’s got a quite high profile
9 and he’s considered to be + Iyou know
10 Connie: la good chap \
11 Stuart: la good guy\

This illustration initially started with the maximally cohesive and collaborative agreement in the conversation. It is Jake and Stuart (line 1-9) who are in line of agreement to the discussed topic. But the conflict emerges when the discussion develops into male-female stereotyping (line 10). According to the authors, the issue of gender becomes gradually foregrounded of the conflict. The logical consequence then is that the discussion becomes a competitive site where males and females try to make independent contribution (lines 26-32).

Example 3

26 Wendy: Ibloody good bloke/
27 /[General laughter]/
28 Jeft: bet he doesn’t employ many women workers
29 [General laughter]
30 XM: no
31 Connie: (oh) I probably wouldn’t want the job /either/
32 lake: lit I depends on your definition of /good bloke/

The interesting point, however, found in the organisational business is that the disagreement or conflict is “managed” through discourse strategy of humour that serves to defuse the tension as displayed in by the frequency of general laughter.
The last point to be presented in this section is about the negotiating through disagreement strategies. The authors’ 4th excerpts describe how this particular action unfolds. This recorded conversation takes place in a regular team meeting in a government department. The team was discussing the issue of allocated responsibilities due to the loss of personnel within the organisation. It can be seen that the classical strategy is applied in this context where the speaker uses “yes but” strategies to indicate his/her opposition. This example also exemplifies the “positive confrontation” as suggested by Rothwell found in this negotiation.

Example 4

1 Zoe: mm /but\
2 Leila: /mm \
3 Zoe: okay but hang on what are our other options here um we’ve
also got Hannah
4 Leila: yeah…

Example 4 strategies in discourse disagreement are played through a number of two different linguistic forms: the classical strategy (mm/but\) is used followed by positive confrontation. Providing an alternative can be interpreted as a positive confrontation which is supported by the illustration (…. here um we’ve also got Hannah) applied by Zoe. This is considered to be a standard strategy by the authors for disagreeing politely.

The interesting point also highlighted here is about how Leila, as chair and manager, uses negotiating strategies to point out her disagreement to the alternative proposed by Zoe. It can be seen (lines 5-6 in 4b) from the way how she made a positive confrontation (you know it may well be that we haven’t got quite enough hours but I’ve got a feeling that we might have the solution within here). This excerpt indeed provides example how disagreement is unfolding and how can be negotiated through a certain number of strategies.

From the data above, the authors contrast the two different workplace cultures in term of doing disagreement. Example 1 & 2 were taken from a private enterprise, a commercial workplace where the competitive and confrontational style of interaction are more prevalent in daily or meeting conversation settings. Meanwhile, excerpt 3 & 4 which were taken from official government departments indicate the more tightly knit community and more complexities because the opportunity is greater of showing status of power position when they disagree.

Discussion

Besides presenting the general findings of this reviewed article, this section also describes the basic differences compared to or contrasted with other article which I supposed has similar interesting area in the field of linguistic politeness strategies associated with power. The article entitled Power behind linguistic behaviour: analysis of politeness phenomena in Chinese official settings by Yuling Pan (1995). The discussion section is based on two distinct categories in term of the main focus of the investigation and methodologies applied.

Regarding the recent investigation conducted by Holmes & Stubbe (2001), the general findings indicate that there are a certain number of linguistic strategies in expressing disagreement in workplace settings. For example, classical strategies “yes/but” and “positive confrontation” characterise how participants manage conflict and pursuing negotiation through disagreement. In Pan’s article (1995) also revealed that three are a certain number of linguistic behaviours chosen by participants to state their opposition such as challenging a previous suggestion by showing doubt and downplaying the proposition and/or reasoning without directly stating one’s position.

The other interesting points unfold from both articles are that there is a close relationship between social power which significantly impacts on linguistic behaviour. These two articles suggest that people with higher power in official rank tend to use “bald-on-record” strategies in expressing their opposition. In other words, they use more overt and unambiguous ways to demonstrate their confrontation. Indeed, they are task-oriented goals and less concerned on potential face-threatening.

These two articles vary from the main focus of the area of analysis. In their investigation, Holmes and Stubbe (2001) are particularly interested in three aspects of contextual linguistic strategies in doing disagreement: overtly expressed opposition, emerging conflicting views and negotiating through disagreement. Meanwhile, Pan (1995) focuses her analysis on three speech acts: directives, management of conflict talk and decision-making process.

If we carefully paid attention to the fields or areas of the analysis, it seems to us that they are similar. Unfortunately, they are quite discrete in tittles but closed in term of content. However, I personally found a unique description in this context. As it is mentioned these articles examine the association between linguistic usage and power contribution to the linguistic behaviour, I think Pan (1995) largely discusses about how that social power heavily influences the linguistic politeness strategies such as in management of conflict talk. So, power is definitive in Pan’s article.

On the other hand, Holmes and Stubbe (2001) deeply explore the linguistic strategies in expressing disagreement. In other words, Holmes and Stubbe, in my opinion, talk less the contribution of power to linguistic expression in negotiating through disagreement. Indeed, their findings are likely giving us description or guidance how to tackle the same problems.

Furthermore, I will present the methodologies designed to both investigations. Referring to data and method applied, it gives us an idea how those data was taken from official government meetings. Pan (1995) collected her data in Foshan, a southern city in mainland China. Meanwhile, Holmes and Stubbe (2001) did it in New Zealand workplace (without being explicit what the exact government department engaged) and corporate sector. The conversation was recorded and then analysed to support their analysis.

References:

Holmes, J & Stubbe, M (2001), Doing disagreement at work: a sociolinguistic approach. Australian Journal of Communication, vol 30 (1), 53-77. Retrieved on April 14, 2012, from http://search.informit.com.au/fullText;dn=200308877;res=APAFT.

Pan, Y. (1995), Power behind linguistic behaviour: analysis of politeness phenomena in Chinese official settings. Journal of Language and Social Psychology, 462-481. Retrieved on April 14, 2012, from http://jls.sagepub.com/content/14/4/462.

Posted in Linguistics | Leave a comment

Tiga mata rantai dalam lingkar (isu) kenaikan harga BBM

Membaca delapan headline harian Kompas hari ini, 31 Maret 2012, semakin memberi gambaran pergulatan dan geliat perekonomian Indonesia di kelasnya. Pergulatan yang paling mencolok kali ini adalah dikarenakan adanya “isu” kenaikan harga BBM. Saya mengggunakan kata “isu”, karena ternyata kenaikannyapun telah diputuskan ditunda.

Ada tiga headline yang secara langsung terkait dengan isu BBM. Ketiga judul headline tersebut adalah:

– Tindak lanjuti paripurna, Presiden gelar sidang kabinet
– Pemerintah menerima penundaan kenaikan harga BBM
– Harga BBM tak jadi naik, perketat belanja

Tanpa membaca secara teliti sekalipun, ketiga judul di atas menjelaskan situasi riil yang sedang dihadapi pihak pemerintah (terutama) terkait isu BBM. Pada headline ke-2, rapat paripurna soal UU soal perubahan-APBN 2012 telah merujuk pada rumusan baru pasal 7 ayat 6A, akhirnya pemerintah mempertimbangkan hasil rapat pariwurna DPR-RI. Penerimaan sikap ini akan ditindaklanjuti pada sidang kabinet yang akan dipimpin oleh presiden sendiri untuk mempelajari putusan rapat tersebut lebih mendalam.

Pokok penting dari ketiga headline di atas menurutku bukanlah pada permasalahan apakah BBM akan jadi naik, ditunda, atau kemungkinan terakhir, dan ini sangat sulit, harganya tetap stabil. Akan tetapi “keresahan” masyarakat yang jelas terasa sebagai dampak dari isu tersebut. Menariknya, ditengah-tengah memanasnya isu tersebut, ditengah-tengah masyarakat yang sedang “resah”, ada kabar yang berpotensi sebagai harapan yang bisa menepiskan potensi “keresahan” yang ada, yakni tiga judul headline berikut:

– Simak calon-calon sepeda motor baru untuk Indonesia
– Suzuki “recall” swift, Indonesia aman
– 11 model baru ramaikan pasar mobil Indonesia tahun ini

Jika menyimak ketiga judul tersebut, terdapat harapan didalamnya (menggunakan pendekatan ilmu Pragmatiks). Secara ekonomi, kalimat-kalimat tersebut barangkali ingin menyampaikan pesan tersurat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih tinggi. Buktinya, Indonesia masih menjadi pasar basah bagi distribusi seperti produksi mobil dan sepeda motor. Lalu dari kelas mana yang kiranya dapat meng-afford mobil sekelas Suzuki Swift dan Honda model Brio dan All New Civic tersebut? Tentunya kaum yang berduit.

Secara logika memang benar bahwa orang membeli dalam hal ini mobil atau sepeda motor juga telah memikirkan jangka panjangnya. Jangka panjang disini adalah pertanyaan seperti bagaimana mereka dapat mendukung kendaraan tersebut setelah terbelikan. Tentu mereka juga memikirkan “bahan bakar” sebagai penggeraknya. Sisi yang lain, produsen dan itu saya begitu yakin bahwa mereka tidak buta memilih Indonesia sebagai “jajahannya” (isitilah “jajah” begitu popular dari dasawarsa 1980-an – 1990-an akhir terutama di desa untuk menunjukkan aktivitas ekonomi kalangan bawah. Mereka berjualan menjajahkan jualannya misalnya kain atau baju ke daerah-daerah lain dan itu ditempuh umumnya dengan jalan kaki). Mereka kaya pengalaman dan didukung pengetahuan ekonomi, atmospher geopolitik yang memadai. Jika itu benar, rasa-rasanya dapat kita pahami bahwa efek (isu) kenaikan BBM tidak memberikan dampak yang serius.

Di kolom “Urban” pada koran harian yang sama, tertuliskan “Menikmati “sunset” sambil makan di Serai Wangi. Bagi yang belum tahu lokasi “foodcourt” ini di mana atau belum sempat mampir, tepatnya ada di jalan Rawa Buntu, Serpong. Pada bagian ini kita barangkali hanya sama-sama bisa “menyeruput” hidangan masakan dengan pemandangan matahari yang hendak tidur. Lagi-lagi inilah warna lain yang menawarkan “kesejukan” dan “kedamaian”dalam lingkaran isu kenaiakan harga BBM di negeri tercinta kita ini .

Argumentasi bahwa efek yang mendalam dari naiknya harga BBM adalah meningkatnya harga kebutuhan dasar pokok sehari-hari. Cabe, bayam, mentimun, bawang merah, bawang putih, ikan, beras (apalagi?) juga gag mau kalah. Bahkan terkadang, harga BBMnya aja belum tentu naek, harga tersebut rebutan. Efek samping inilah yang barangkali yang betul-betul memusingkan dompet terutama kalangan kaum proletar (working class). Tapi rasanya kenyataan ini tidak perlu terlalu berlebihan perih ditangisi, karena ternyata, berdasar laporan harian “Tempo”, tingkat konsumerisme di Indonesia mencapai puncak (?) yang juga berdasarkan fakta di lapangan, kaum kelas menengah-keatas di Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti dibanding Indonesia, Srilangka dan negara ASIA lainnya.

Lalu pertanyaanku, siapa sebenarnya yang “gelisah” akan fenomena (isu) kenaikan BBM ini? Saya perhatikan, terutama tetangga-tetanggaku di desa (dan barangkali di daerah-daerah lainnya) rupa-rupanya mereka masih menjalani rutinitasnya sehari-hari (umumnya bertani) tanpa banyak gugat mengandalkan pemerintah dan ini kenyataan bahwa sampai saat ini belum pernah ada yang kelaparan dikarenakannya. Atau entah karena mereka merasa tidak punya kekuasaan dan kekuatan, bisu dalam teriakan?

Posted in Tanggapan | Leave a comment

Kenyataan dan harapan

Sekitar satu minggu yang lalu, artikel diharian “Tempo” memuat tentang isu keringnya kemanusiaan Indonesia yang disebabkan rapuhnya jiwa. Tulisan tersebut tentunya, dan itu pada dasarnya hanya asumsi sementara saya, tidak berangkat dari pandangan sekilas dan dangkal. Tak terpelakkan keyakinan yang mendalam bahwa tiap untaian kata dalam artikel tersebut menyuarakan jeritan dan hingar-bingar manusia yang terkaca pada kecamuk persoalan bertubi-tubi yang lagi menghantam suatu negeri yang dulunya menyandang predikat negara “berbudi luhung”, Indonesia.

Nada tulisan tersebut berirama “rasa kehilangan” yang mengupayakannya kembali. Jika kita berusaha memahami pokok-pokok gagasan dalam artikel itu, tersirat sosok pelaku cinta sejati pada peninggalan nenek moyang yang tak lagi terawetkan. Apakah memang benar demikian karakteristik penulis tersebut. Menurut Bolinger (1996, p. 106), hanya pembuat pernyataanlah yang tahu bahwa dia berbicara jujur atau tidak. Maksud kata, Keserasian hati dan ungkapan penutur mewujudkan kesungguhan pada apa yang dia khawatirkan. Jika tidak, maka tulisan-tulisan tersebut tidak lebih dari denting kosong yang karenanya tidak mengherankan jika tulisan tersebut, nampak atau terselubung, tidak memberi dampak apa-apa entah sekarang atau pada masa yang akan datang.

Apa memang demikian kenyataannya? Barangkali gambaran-gambaran sudah sangat nyata bagi kita untuk kita tolak sehingga kita kemudian cendrung menyetujui atas keprihatinan tersebut. Pada tingkatan ini, baru giliran kita, saya dan pembaca untuk mengetahui isi hati dan pikiran masing-masing. Akan tetapi, sebelum kita melangkah ke tangga itu, saya akan memetik potongan-potongan percakapan antara seorang putra dan bundanya dalam novelnya Pram (Pramoedya Ananta Toer), “Bumi Manusia”.

“Nah sekarang duduk aku di lantai. Tundukkan kepalamu…,” pada kesempatan seperti ini tahulah aku apa yang akan menyusul: wejangan sebelum pesta perkawinan. Tak bisa lain. Nah, wejangan itu akan mulai. “Kau keturunan darah para satria Jawa …. pendiri dan pemunah kerajaan-kerajaan ….. Kau sendiri berdarah satria ….. Apa syarat-syarat satria Jawa?”
“Sahaya tidak tahu, Bunda.”
“Husy. Kau yang terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada pada satria Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila dan curiga. Bisa mengingat?”
“Tentu saja, Bunda. Bisa.”
“Kau tahu artinya?”
“Tahu, Bunda.”
“Dan kau tahu lambang-lambang apa itu?”
“Tidak, Bunda.”
“Anak tak tahu diasal, kau. Dengarkan, dan sampaikan kelak pada anak-anakmu …”

Ikhwal atau pokok dari kutipan di atas adalah bagaimana kita yang direpresentasikan oleh karakter “Anak” dapat bisa memahami nilai-nilai yang telah berabad-abad dibangun oleh pendahulu (diwakili oleh tokoh Bunda) sebagai nilai dan norma kehidupan dalam masyarakat. Penting juga untuk digarisbawahi bahwa tulisan ini tidak ditujukan pada suku tertentu dan tidak untuk mencitrakan bahwa satu kebudayaan lebih unggul dari satu kebudayaan yang lain atau sebaliknya. Akan tetapi kutipan tersebut lebih menitikberatkan pada kepentingan isi dan falsafah yang terkandung yang dimiliki hampir semua suku dari latar belakang budaya dan sosial yang berbeda.

Bagaimana memahami definisi “jiwa” dari penulis pertama, parameter atau variable (lima syarat satria Jawa) yang disinyalir oleh Pram bisa jadi rujukan. Rujukan yang dimaksud disini adalah seberapa jauh atau luas pemahaman kita pada unsur-unsur kelima tersebut. Pertanyaan seperti itulah yang perlu dijawab oleh masing-masing kita. Untuk bisa mendapatkan pemikiran dari kutipan tersebut, mari kita sama-sama melakukan analisis percakapan (conversational analysis) dengan menggunakan pendekatan “ethnography” antara seorang anak dan ibunya.

Perubahan dan jati diri

Perubahan memang kodrat dan bayangannya akan terus mengikuti di mana kita berdiri. Perubahan baik dipedalaman diri atau sesuatu yang terkait dengan fisik terjadi untuk merespon perputaran dunia luar. Tidak semua peristiwa itu disadari atau diniatkan oleh subjek. Pada umumnya yang terjadi adalah gumpalan kesadaran dari bentang waktu yang cukup panjang dan pelakunya kini menyadari bahwa dirinya telah berubah dari satu, dua, tiga atau pada masa kanak-kanaknya.

Artikel di “Tempo” tersebut berusaha merevitalisasi jati diri “bangsa” yang sudah berabad-abad ini berdiri. Nilai-nilai seperti gotong royong dan nrimo misalnya adalah petanda utama bagaimana Indonesia sampai sebelum kira-kira tahun 2000-an. Pada skala yang lebih besar, entosentrisme (yang tidak berlebihan) merupakan pola dasar yang terbangun secara merata di negeri pulau seribu ini.

Percakapan yang dikutip dari novel tersebut hendak memberikan contoh bagaimana generasi tua dan muda berbeda dalam pemahaman budaya. Kalimat “Kau keturunan darah para satria Jawa …. pendiri dan pemunah kerajaan-kerajaan” menurutku tidak sekedar bersifat informatif (lucocionary). Akan tetapi, ungkapan itu untuk dipahami sebagai pengetahuan diri. Bisa jadi permintaan secara tidak langsung supaya anak tersebut sadar siapa dirinya yang sebenarnya. Saat dikonfirmasi apa anak tersebut mengerti syarat-syarat menjadi satria itu? Kita bisa perhatikan respon yang keluar dari anak itu, “Sahaya tidak tahu, Bunda.”

Dalam konteks budaya Jawa, jawaban tersurat tersebut bisa jadi bukanlah representasi dari pemahaman yang tersirat. Dengan kata lain, sang anak sebenarnya sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan bundanya. Hanya dia ingin menunjukkan kesejajaran atau dibawah orang yang diajak bicara. Dalam bingkai budayanya, dia tidak ingin dilihat lebih dari yang lain. Kelima unsur tersebut wisma (rumah), wanita (perempuan/istri), turangga (kuda/alat seperti pengetahuan dan keahlian), kukila (burung(lambang keindahan)) dan curiga (keris lambang kewaspadaan dan keperwiraan). Akan tetapi, terdapat gagasan dasar yang ingin ditekankan oleh seorang Ibu terhadap buah hatinya: mengetahui jati diri yang sebenarnya (identitas).

Dengarkan, dan sampaikan kelak pada anak-anakmu …” Ungkapan seorang Bunda ini melihat begitu tak ternilainya menjadi diri sendiri, sehingga seorang Ibu menilai pentingnya mentransformasi nilai-nilai mendasar itu pada generasi berikutnya.

Terdapat dua inti gagasan yang ingin saya tekankan dari analisis ini, ide perubahan dan isu jati diri. Pada pokok yang pertama, tokoh anak (generasi muda) dalam novel itu cendrung berubah sesuai peredaran jaman. Minke, tokoh anak tersebut adalah seorang murid keturunan pribumi yang mengenyam pendidikan formal di sekolah H.B.S Surabaya. Lingkungan yang serba Eropa ini mengantarkannya pada keilmuan yang juga berbau Eropa. Performa bahasa asingya tersebut, baik dari segi ungkapan lisan ataupun tulis sudah tidak diragukan lagi. Lebih-lebih dia dikenal sebagai pujangga pribumi tentunya karena kefasihannya yang tinggi dalam mengaplikasikan bahasa Belanda itu.

Hanya saja, tindak ucapan dan gelagat prilakunya menuai delima. Terutama kekecewaan seorang Ibu setelah menemuinya bukan “Jawa” lagi. Pada taraf ini, terjadi dua polarisasi kutup antara generasi tua yang cendrung mempertahankan adat dan kebiasaannya, dan generasi muda yang dalam pandangan generasi tua. Menyikapi pergulatan ide semacam ini, tentu dibutuhkan sudut pandang burung (eye of bird), melihat permasalahan dari berbagai pertimbangan.

Apa yang bisa dilakukan

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Indonesia yang dulu, sekarang dan pada masa yang akan datang, berubah. Perubahan itu berjalan berdasarkan kodratnya. Sehinnga melihatnyapun dibutuhkan suatu pandangan yang baru. Ada dua hal yang ingin saya tawarkan dalam menyikapi situasi ini. Pertama, kesadaran perubahan itu sendiri dan praktek bahasa.

Point pertama bagi saya keberadaannya paling mendasar. Artinya sudah sejak dalam pikiran kita sudah mesti tertanam kesadaran bahwa kontak budaya melalui persebaran informasi salah satunya adalah suatu keniscayaan. Sehingga potensi dampak yang diakibatkannya sudah bisa diperkirakan. Kesiapan mental atau pikiran inilah yang dapat menghindarkan dari “kelesuan” pada perubahan yang dapat ditemui.

Yang kedua adalah bagaimana bahasa lokal tetap digalakkan, terutama dalam komunikasi keluarga. Meskipun kontak budaya telah membuka ruang peningkatan keterampilan bahasa asing atau bahasa kedua, nilai-nilai budaya lokal sebenarnya dapat bisa tersampaikan oleh bahasa yang berlaku di komunitas lokal tersebut. Sebagai contoh, nilai-nilai yang berlaku di Jawa, Madura, Sunda dan daerah lainnya, akan lebih mudah dicerna bila disampaikan dalam bahasa daerah yang bersangkutan. Terjemahan bahasa lokal (pertama) kedalam bahasa kedua atau asing, diakui atau tidak, mengurangi sense atau jiwa nilai-nilai lokal tersebut, atau malah cendrung makna yang ingin disampaikan justru tidak sampai.

Bagaimanapun, kita sebagai bangsa tidak dapat menutup diri dari dunia luar. Sisi positif dan negatif selalu beriringan. Hanya saja jati diri kita tidak pupus lambat laun karena kurangnya kesadaran bahwa kultur, cara kita hidup merupakan penanda siap diri kita sebenarnya. Oleh karenanya, seberapa tingginyapun tingkat pendidikan formal kita tidak menjadikan kita merasa inferior ditengah-tengah pergaulan negara yang kita anggap lebih maju dibidang tekhnologi misalnya. Justru sebaliknya, berketetapan pada hukum budaya sendiri, dan tanpa harus norak, dapat menjadikan media bebas akses bagi dunia luar untuk memahami siapa dan apa “Indonesia” yang sesungguhnya.

Ada dua isu yang ingin saya tekankan pada analisis ini. Yang pertama, lima inti nilai yang terkandung pada masyarakat tertentu beserta sikap generasi berikutnya terhadap nilai-nilai yang sudah ada. Dari interaksi tersebut, jelaslah kiranya dalam pandangan “Bunda” bahwa menjadi seorang satria (Jawa) itu penting. Dan untuk menopang itu semua mesti didukung oleh pengetahuan tentang leluhur karena hal itu yang akan mendekatkan pelaku pada asalnya. Lebih dari sekedar itu, pengetahuan itu adalah identitas.

Mempertanyakan pemahaman, menguliti, dan wewujudkannya sesuai konteks kekinian itulah yang menurut hemat saya adalah prinsip dan modal dasar pertalian dengan nilai-nilai budaya semakin susah dilepaskan. Perasaan kurang percaya diri demi suatu alasan adaptasi dan bisa diterima pada komunitas tertentu, tidak jarang menjadi penghalang utama kelunturan nilai-nilai yang ada.

Posted in Culture | Leave a comment

POWER BEHIND LINGUISTIC BEHAVIOUR: ANALYSIS OF POLITENESS PHENOMIENA IN CHINESE OFFICIAL SETTINGS BY YULING PAN: A REVIEW

This review consists of four sections: Introduction, method, results, and discussion. Each section will be presented sistematically.

Introduction

This study which is conducted in Foshan, a Southern city in mainland China, mainly focuses on the nature of institutionalised power and social factors influencing the differential level of linguistic politeness in verbal interaction. Three relative weights of social elements would be examined in this analysis: official rank, age and gender. These important elements subsequently are analysed in relation to the power the speakers have and how these factors impact the language use in conversation. The researcher also examines the Brown and Levinson’s theory of the positive-negative politeness in Chinese official settings. In this review, I will also include the method, results, and the discussion sections to help reader(s) get clearer ideas of this research review.

It should be taken into account that being conscious of social status/position, age and gender in Chinese’s hierarchical society is important as this understanding significantly contributes to how we should behave socially appropriately in a given situation. In the sense of being polite, we should therefore recognise our interlocutor’s role particularly in institutionalised power. In Chinese culture as this investigation shows, we are expected to display deference or respect to a superior. On the other hand, it is generally agreed that a superior isn’t limited to use politeness to his or her subordinate.

As this body of research specifically investigates the area of linguistic politeness, the researcher presents the theoretical framework of the related study in the introduction section. She draws from the influential theory of politeness rules and models proposed by Lakoff (1973), Brown and Levinson (1987) in her analysis. So, in this review, I also articulate the applied politeness theories proposed by Lakoff, Brown and Levinson.

Lakoff (1979 cited in Pan, 1995. P. 464) firmly believes that conversation in social interaction is governed by linguistic rules. Accordingly, in addition to following the grammatical rules, we also need to follow the pragmatic aspect of language use in daily interchange in a given situation. He, thus, suggests the following three rules of politeness.
1. Don’t impose (distance)
2. Give options (deference)
3. Be friendly (camaraderie)

However, he contends that these proposed rules of pragmatics aren’t based on a hierarchical order. Those points are continuum with Gricean maxims . Therefore, he puts a greater emphasis on two aspects of the situation and its purpose. These refer to whether we want to exchange information or to seek social relationship.

Furthermore, Pan also uses the Brown and Levinson’s models of politeness in her analysis. She states that the concept of face is the core idea of Brown and Levinson’s linguistic politeness models. It is assumed that humans have two kinds of face: positive (the want to be desirable by others) and negative face (the want not to be impinged or imposed by others’ actions). Accordingly, face is vulnerable to be threatened and politeness strategies are considered as a tool to reduce the imposition of face threatening actions. In other words, linguistic politeness functions to save person’s face and/or to preserve human’s face from being lost. Brown and Levinson classify the models of politeness as follows:
1. Bald-on-record (the direct way of saying things)
2. Positive politeness (the expression of solidarity)
3. Negative politeness (the expression of restraint); and
4. Off-record politeness (the avoidance of unequivocal impositions)

By the notion of the universality of the concept of face, however, Brown and Levinson argue that it is subject to cultural elaboration. Meaning, the different culture may have different ways in considering others.

The following section will present the method applied in data collection conducted by the author.

Method

The main concern of this investigation is about the relationship between power and linguistic politeness in hierarchical social structure. The author collected the data in 2005 in Foshan, a southern city in mainland China. The data consisted of four recording whole speech event in government official meetings. The purpose was to assess the most dominating social elements, official rank, age and gender, associated with politeness use in institutionalised power and test the Brown and Levinson’s theory in term of positive and negative politeness models.

Results

In this section, I will present the data related to the main focus of the analysis conducted by Pan. In her hypothesis, she argues that social factors: official rank, age and gender have a great impact on politeness use in Chinese official settings. Institutionalised power, however, overrides the factors of age and gender. Secondly, she also questions the Brown and Levinson’s positive and negative politeness strategies generally perceived in the West concept.

To test how those social factors mentioned above are linked to different use of politeness strategies in Chinese culture, the researcher centres her investigation on three discrete kinds of speech acts: directives, management of conflict talk and decision-making process. So I will present the observed data in this review revealed by the author from each case to indicate the great impact of social factors to power. Moreover, the differences between positive and negative politeness in the West and Chinese settings will be also presented.

Pan’s investigation shows that three social factors mentioned above play a significant role in the use of politeness strategies. The findings indicate that different levels of age and different gender have a considerable impact on the use of politeness strategies. However, according to Pan, official rank is the most dominating factor in this context. In other words, one’s position in Chinese hierarchical society, no matter one’s age and gender intrinsically determines the expected behaviour in interaction. This situation indeed leads to different linguistic usage between the interlocutors.

Regarding the directives, the researcher reveals the distinct use of politeness between a supervisor and a subordinate. Accordingly, the superior uses more frequent bare imperatives than his/her subordinate. This can be seen from the fact that the supervisor tends to issue the bald-on-record politeness strategy when they are interacting with his or her colleagues whose official rank is lower compared to a supervisor’s position. The use of polite hedges is only displayed when they are speaking to their superior or equal colleagues.

This asymmetrical communication indeed can be found in the recorded conversation between Yin (age 28) as a deputy secretary and Lem (age 33) as of his subordinate. The conversational interchange has been literally translated from Cantonese into English.

Yim: Hey, ah, Lem Fong, call Cungzei and ask him if he’s got the car back today.
Lem: Eh, eh.

From this example, we can see the directive without any polite hedges or modality markers given by Yin to Lem even though Yin is younger than Lem in term of age. We can also understand this from how Yim addresses Lem with his full name rather a more formal or respectful tittle such as “Mr. Lem”. These are the apparent examples of the heavy influence of official rank in Chinese institutionalised power.

The other speech act analysed by the author is about management of conflict talk. Verbal conflict, like directives, is linked to the social variables such as power/status hierarchy. It can be seen from the way how opposition is expressed. Accordingly, higher ranking, people are more direct in signalling their opposition. However, the lower in rank, they tend to stay away from direct confrontation. The subordinate’s tendency to mitigate an imposition is to display his or her deferential behaviour toward the addressee in a higher power position.

The author exemplified the participants’ discussion to purchase the prize winners’ award in a current events contest proudly sponsored by a municipal youth league committee. Five participants take part in this discussion: Liu (the highest in rank, Fan (the deputy secretary), Tai, Lili (the only female in the discussion) and Rong (the rest of three are equal). The following excerpts have been selected to illustrate the findings.
Fan: let’s buy photo albums
Tai: (We) can also buy seven or eight dollar ones, if it’s..
Liu: Not necessarily those. But they’re better than four or five dollar ones. Anyway, seven dollars is still cheap.
Tai: Well, buy some New Year’s cards.
Liu: That’s no good.
Lili: My god! That’s only one dollar each. Those New Year’s cards are really ugly, one dollar…
Tai: Well, buy some New Year’s cards
Liu: That’s no good.
Lily: My god! That’s one dollar each. Those New Year’s card are really ugly, one dollar..
Liu: That’s no good.
…………..
Tai: Buy some kitties then. Six dollars per pair
Fan: What’s the use of kitties?
Fan: Yeach, but what’s the use?
…………..
Fan: If (we) have to buy something, buy some desk calendars then
…………..
Lili: Lots of people already have desk calendars, y’know. Many people send desk calendars to each other (as gifts). Then, what’s the use of having so many (calendars)? People have too many wall calendars and desk calendars.

The transcript conversation above indicates how the discussion and opposition unfold. According to the author, there are four ways of stating opposition in this conflict talk. Firstly, giving direct opposition to deny the previous statement or suggestion by employing negative expressions of “m hei” (no good). Secondly, challenging the previous suggestion by displaying doubt. Subsequently, reasoning without directly stating one’s position. Finally, providing alternative instead of overtly disagreeing is the other way in this context.

The last speech act examined by the author is about the decision-making process. The main point of this idea indicates that the decision making process inevitably involves the speakers’ position in the rank hierarchy. The author finds that the most powerful person in the group tends to be the first person in initiating and finalising the decision. This point indeed determines the linguistic choices and in this analysis is reflected in the use of bald-on-record face strategies in doing so.

Another interesting point the author suggests is when the superior isn’t always the decision maker within the conflicting issue. Her study shows that the power hierarchy among the participants is still indicated by the decision-making process. The participants take a sequence of steps to come to the final decision. The initial attempt for a decision could be made and other participants immediately either rephrase or repeat what is said before. Then other participants express in chorus to state their agreement. In other words, the awareness of rank position among interlocutors dominates the linguistic choices in a hierarchical scale.

In relation to positive and negative politeness suggested by Brown and Levinson, the author’s findings are in contrary with Brown and Levinson’s models. The cultural orientation between collectivism (Chinese) and individualism (Western) underlines the basic difference between positive and negative politeness in these two varied cultures. That is In Chinese culture, the speaker has to behave based on the social role in a given situation. It means a superior should act like a superior and otherwise, a subordinate should act in line with his/her social status.

The basic difference in term of positive and negative politeness perceived in the West and the Chinese culture is different culture among them. According to the author, this difference is based on the different culture between individualism and collectivism. As cited by Ide (1989), the author assumes that individualism is the basis of all interaction in the West. So it is easy to identify “face” as the key interaction. In contrary with West culture, collectivism is the basis for interaction. It is regarded that the speaker’s position in society is the basis in interaction.

Pan argues that it is not because people respect the negative face of the other that they show deference but rather because their social position requires them to behave likely to those who have power over them. Thus, the desire to be independent and be unimpeded in one’s actions is almost alien to Chinese. So the imposition is not considered to be face-threatening act when it is done by a superior over a subordinate. However, showing deference to superior enhances the positive face because it justifies the subordinate’s behaviour toward the superior.

Discussion

The general findings of this analysis conducted by Pan indicate that social elements, official rank, age and gender play a significant role and in turn, determine the linguistic choices in communication. Even though it is true that the level of age and different gender contribute to its differences, official rank, however, is the most dominating aspect in linguistic behaviour. A superior for instance tends to use bald-on-record strategies in giving directives, managing conflict talk and making final decision in official circumstances.

In this discussion section, I will compare or contrast this analysis with other article written by Morand entitled Language and power: an empirical analysis of linguistic strategies used in superior-subordinate communication (2000). The basic concept of both articles, between Pan and Morand, emphasise the same area of interesting topic, language and power, and how in turn, significantly contribute to the use of politeness strategies. From my perspective, I found how these studies relate to but to some points, differ from one to another. For example in term of methodology applied in conducting the research and the area of speech acts critically analysed, they vary.

The general findings of both articles remarkably highlight that power is communicated through specific linguistic behaviour. They suggest that the higher social rank of a person in society, it seems that he/she tends to use bald-on-record strategies in interaction. Morand (2000) exemplified in request speech act. Accordingly, a superior is more direct in doing so. Similarly, Pan’s investigation notes that the higher of official rank of a person, the barer imperative in such as giving directive, managing conflict talk and making decisions. From these evidences, we can tentatively conclude that power certainly plays a significant role in determining politeness use.

Due to the both article differences, we can look at from discrete methodologies applied and the area of speech acts examined. As can be seen from the article, Morand uses the quantitative method in conducting language research. He proves that language research sheerly to qualitative research is also amenable in quantitative research. He conducts a laboratory study illustrating how power impacts the pattern of the speaker in using the politeness strategies. He involves eighty four Pennsylvania State University at Harrisburg’s students, at Middletown, U.S.A in 2000. On the other side, Pan (1995), conversely to Morand, didn’t explicitly state what methodology applied in her research. But it has been apparent that her study is based on four tape-recorded government official meetings, each lasting from 1 hour to 1 hour and half in Foshan, a southern city in mainland China.

Concerning about the speech acts analysed in both studies, Morand and Pan have different areas of interest. Morand mainly focuses on the request and Pan critically analyses the distribution of power in three speech act categories: the nature of directive, management of conflict talk and decision-making process. Even thought they analyse distinct speech acts, but the general findings remarkably suggest the similarity: the distribution of power is more dominated by person’s position in society.

In theoretical framework issues, these articles take advantage of the influential politeness strategies theories proposed by Brown and Levinson. I, however, found something unique in each article. Only Pan’s article explains how power is valuable in Chinese social settings. Therefore, Pan looks at the historical perspective of power and how it is applicable in that hierarchical society. In my perspective, it is also crucial to present the historical perspective in looking at power so that’s why we can understand why a certain power is value in certain community and may be various in other cultures. In this interesting point, I will take as a part of my concern in my own literary review.

References:

Crystal, D. (2001), “A dictionary of language”, Chicago, The University of Chicago Press.

Morand, DA. (2000), Language and power: an empirical analysis of linguistic strategies used in superior-subordinate communication. Proquest, 235-248. Retrieved March 15, 2012, from http://search.proquest.com.ezproxy.flinders.edu.au/docview/224880733?accountid=10910.

Pan, Y. (1995), Power behind linguistic behaviour: analysis of politeness phenomena in Chinese official settings. Journal of Language and Social Psychology, 462-481. Retrieved March 28, 2012, from http://jls.sagepub.com/content/14/4/462.

Posted in Linguistics | Leave a comment

Kata (word), Lexem (Lexeme) dan Morfem (Morpheme)

Ketiga kata yang berlainan diatas merupakan unit bahasan dalam kajian ilmu linguistiks, lebih terutama tentang kompleksitas pengertian atau definisi dari ketiga istilah tersebut. Masih sebagai pokok kajian, definisi dari ketiga kata tersebut, meskipun definisinya dapat dirujuk pada kamus, akan tetapi bagaimana memahami relasi-oposisi, persamaan-perbedaan serta bagaimana ketiga aspek tersebut dapat bekerja dalam ranah linguistiks masih menjadi perdebatan panas.

Tulisan ini akan mencoba bagaimana ketiga unsur linguistiks tersebut di atas dapat memberikan gambaran guna mencapai pemahaman yang komprehensif melalui definisi dan contoh kasusnya.

Ada dua istilah penting yang menurut hemat saya akan menjadi pedoman dasar sehingga dapat membantu pemahaman lebih mudah. Kedua istilah tersebut adalah konsep “unit” dan “meaning”. Kedua istilah tersebut pada tampaknya berbeda. Akan tetapi hakekat dari kedua istilah tersebut saling terkait satu sama lain terutama pada titik untuk memahami “lexem”.

Kata “Unit”, menurut Matthews (2005, p. 390), adalah “anything that is treated as a whole at some level of analysis or description”. Jadi “unit” ini merupakan potongan-potongan kecil yang juga turut berkiprah terbentuknya sesuatu itu. Sementara, definisi kata “meaning” adalah “traditionally of something said to be “expressed by” a sentence (Matthews, 2005, p. 220). Dengan demikian, berdasarkan definisi tersebut, makna hanya dapat dipahami lewat “utterance” atau ucapan. Hanya demikian, definisi tersebut tidak membatasi ruang diskusi kita kali ini karena arti kata “meaning” yang dimaksud di sini adalah lebih kepada adanya hubungan yang “congruent” antara bentuk tulisan atau ucapan dengan makna atau hal yang dituju.

Kembali pada pokok permasalahan di atas, beberapa ilustrasi berikut barangkali akan membantu memberi gambaran bagaimana “kata, lexem dan morfem” itu berbeda akan tetapi terkait pada waktu yang bersamaan. Berikut adalah beberapa contoh untuk bisa memahami ketiga istilah tersebut.

unbelievable, unsymmetrical
give in, concede
kick the bucket, die

Jika dianalisis dari susunan kata (word formation), kata “unbelievable” dan “unsymmetrical” tidak hanya terdiri dari satu kata saja. Kedua kata tersebut dapat dipilah menjadi unit-unit terkrcil akan tetapi keberadaannya masih mengandung makna yang signifikan. Kata “unbelievable” terbentuk dari satu prefiks (un) dan suffiks (able) dimana kata “believe” adalah sebagai batang atau akar dari kata “unbelievable”. Akar inilah yang dalam kajian linguistiks populer dengan istilah “stem”.  Sehingga kata “unbelievable” tersebut dapat diperinci dengan “un-believe-able” dimana tiap-tiap unit pembangun kata terkecilpun (prefiks (un) dan suffiks (able) tersebut merupakan rangkaian terbentuknya kata “unbelievable” dari asal mula kata “believe”.

Prefiks “un” dan suffiks “able” merupakan unsur atau unit terkecil dari kata yang disandarinya, “believe”. Dari pemahaman dan ilustrasi di atas, unit-unit terkecil akan tetapi mengandung makna yang solid inilah yang kita sebut “morpheme”. Matthews (2005, p. 232) menyebut morfem sebagai “Any configuration of phonological units within a word which has either grammatical or lexical meaning”. Jadi secara keseluruhan, “unbelievable” merupakan sebuah kata dan morfem itu sendiri merupakan pecahan-pecahan dari “stem” yang juga mengandung makna guna terbentuknya makna yang utuh untuk menyampaikan ide “yang tidak dapat dipercaya”.

Morfem sendiri, seperti terlihat pada contoh di atas, terdiri dari dua kategori, morfem terikat (bound) dan bebas (free). Morfem bebas merujuk pada leksikal morfem atau morfem yang bisa berdiri sendiri sementara morfem terikat menjelaskan morfem yang tidak memiliki fungsi leksikal (lexical morpheme) ataupun fungsi (functional morpheme). Contoh kata unbelievable bisa dipecah menjadi morfem bebas dan morfem terikat. Dengan demikian, kata believe kita kategorikan sebagai morfem bebas. Sementara prefiks -un dan sufiks -able merupakan morfem terikat (bound morpheme).

Menurut Stockwell & Minkova (2001), terdapat lima jenis morfem dalam bahasa Inggris: satu, dua, tiga, empat dan lebih dari empat morfem. Contoh satu morfem misalnya kata desire, boy. Contoh kata dengan dua morfem adalah boy+ish, desire+able. Contoh kata dengan tiga morfem adalah boy+ish+ness, desire+able+ity. Adapun contoh dengan empat morfem adalah gentle+man+li+ness, un+desire+able+ity. Dan yang lebih dari empat morfem adalah un+gentle+man+li+ness. Dengan demikian, contoh kata unbelieavable itu terdiri dari tiga morfem; un-believe-able.

Bagaimana dengan pokok “kata/word” dan “lexem/lexeme” itu sendiri?. Masih merujuk pada contoh yang dipaparkan di atas, give in dan concede atau kick the bucket dan die. Kedua frase give in dan kick the bucket pada hakekatnya tidak memiliki makna yang berbeda dari kata concede dan die pada tataran fungsi. Mereka hanya berbeda pada tingkat jumlah kata. Frase give in dan concede keduanya sama-sama merujuk pada aksi yang sama (kata tersebut memiliki terjemahan yang sepadan “menyerahkan” dalam bahasa Indonesia). Begitu pula dengan frase kick the bucket dan die.

Merujuk pada konsep unit dan makna tadi, frase kick the bucket dan give in akan berbeda dari segi jumlah unit akan tetapi tetap merujuk pada hal yang sama dengan die dan concede. Dari perbedaan itulah, dapat kita maklumi jika istilah “lexeme” itu merupakan kumpulan satu atau lebih kata pada satu referensi (a single reference) (Poole, 1999, p. 10). Lebih dari sekedar itu, lexem juga memberikan definisi yang lebih akurat precise untuk sebuah pilihan kata.

Sementara istilah “kata/word” sendiri, seperti yang tegaskan oleh Bloomfield (1933, p. 178 dikutip dari Poole, 1999, p. 10) merupakan pembebasan dari unsur-unsur terkecil yang dipisahkan untuk menjadi satu kesatuan baik dari bentuk ataupun makna. Dia berargumentasi bahwa “word is a free form which does not consist entirely of (two or more) lesser free forms: in brief, a word is a minimum free form”. Dengan kata lain, definisi kata/word lebih kepada sarekat jumlah yang tidak melebihi dari satu bentuk dengan syarat aspek morphem tidak bisa dilepaskan sebagaimana ia tidak bisa berdiri secara mandiri.

Dari uraian di atas, barangkali dapat tergambaran paparan tentang definisi “kata, lexem dan morphem”. Hanya saja, saya tidak menutup kemungkinan masukan contoh-contoh yang definitif lainnya untuk mengantarkan pada pemahaman yang lebih eksplisit.

References:

Matthews, PH (2005), “Oxford concise dictionary of linguistics”, Oxford, Oxford University Press.

Handbook, School of Humanities: Introduction to English Linguistics: Readings (2012), Flinders University, South Australia.

Posted in Linguistics | Leave a comment

Kesadaran sosial yang tak ter-lembaga-kan

Aku sedang teringat seseorang yang menyelamatkan dari kehausan dimasa kecilku. Meski dia hanya memberiku sebotol air dari sebagian dari jualannya, kenangan yang dalam tertanam itu tiba-tiba menyeruak, muncul dipermukaan ingatan.

Barangkali memang agak sulit untuk memahami kerja otak secara ilmiah. Namun bagiku tidak sesulit memahami istilah-istilah Latin untuk dapat mengerti kebaikan orang lain yang dijatuhkan pada diriku. Dan begitu pula tak sesulit untuk mengetahui kapan kita bisa berbagi apa saja yang sekiranya dibutuhkan orang lain, tepat pada waktunya.

Umurku yang kira-kira masih 11 tahun pada waktu itu belum tahu betul arti atau definisi jelas kebaikan itu sendiri. Sehingga aku tak pernah memikirkannya. Perempuan itu tepatnya tinggal di sebelah rumahku yang dengan sadar berusaha menghidupi keluarganya dengan jalan berjualan ditengah-tengah pesta perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI. Pertandingan bola volley antar desa sekecamatan yang sengaja digelar oleh kepada desa itu memang menjadi lahan basah bagi pedagang-pedagang kecil di kampungku. Meski kita tahu keuntungan yang mereka dapatkan juga tak seberapa, tapi “moment-moment’ seperti itu adalah seperti lumbung padi bagi petani atau lahan kosong menabur benih untuk sepenggal keuntungan dari pedagang tradisional.

Jelasnya aku sudah tak ingat lagi camilan yang “bibi’ helar berpermadani sisa sarung untuk memasarkan dagangannya. Tapi aku tahu, dan ini berlaku untuk tiap penjual, berharap selalu ada orang yang mendekat ke “stand”nya untuk membeli. Sore hari waktu itu ketika aku baru pulang dari sekolah madrasah dan langsung pergi ke tempat keramaian itu. Sekeras apapun usahaku untuk dapat menyaksikan dari dekat pertandingan itu, nihil rasanya dapat menikmati perhelatan atlet-atlet bola volley di kampungku. Tiap-tiap garis sudah tertutupi rapat oleh penonton-penonto “besar” yang menurutku telah mempengaruhi hakim garis untuk menentukan masuk-keluarnya bola. Bagaimana tidak, para penonton itulah yang telah menjadi gari-garis itu sendiri. Jadi aku diam saja di sebelah bibi berjualan itu.

Aku memang berfikir kalau aku sedang menginginkan jualannya. Tapi kurasa itu tidak mungkin karena aku tidak punya uang. Inilah salah satu keajaiban yang tak kupelajari di sekolah: bibi itu sepertinya mampu membaca pikiranku. Diapun memberiku sekaleng minuman. Akupun lupa merek jenis minuman itu. Tapi aku meneguknya.

Jika kita perhatikan dua orang yang sedang berinteraksi, disitulah terjadi dimana pasar wacana (discourse market) ditabuhkan antara produsen dan konsumen. Hanya saja, aku sedang tidak berbicara tentang konsepnya Bourdieu tentang ruang sosial (social space) disini. Meskipun dia berusaha mati menjelaskan bahwa kedekatan kita terhadap “properties”, kedekatan itulah yang akan menentukan seberapa besar “keuntungan” yang bakal kita dapatkan, tapi kenyataan ini melainkan dari konsepnya.

Di kampungku yang hidupnya masih begitu “sederhana”, lebih menggantungkan hidup kepada alam, barangkali pengetahuan sosiologi semacam ini masih jauh dari jangkauan. Kalau tidak percaya, Boleh saja dikonfirmasi. Lalu apa yang sebenarnya membedakan “kesadaran” untuk berbuat baik atas dasar naluri dan pengetahuan. Inilah yang sebenarnya bagiku tidak sederhana untuk menguraikannya.

Aku tidak mau pergi jauh dengan cara menelisik teori-teori untuk mendukung relasi dan oposisi dari kedua unsur tersebut. Tapi aku mau memilih duduk saja dan menikmati betapa teduhnya kenangan masa kecil itu, kenangan yang telah dioretkan oleh seorang bibi yang barangkali karena alasan finansial keluarganya, tidak mampu mengenyam pendidikan formal saat itu. Dia tetap bertandang dialam benakku, dan akupun rindu seandainya dia cepat berlalu.

Posted in Renungan | Leave a comment

Knowledge, Power and Linguistic Strategies: An Analysis Example

The considerable research on language and power indicates the various findings in this field. To some extends, the superior-subordinate communication is heavily influenced by their roles in social hierarchy is not only displayed in which the higher-lower level of power relationship among the interlocutor is clear-cut such as in political arena. However, this asymmetrical relationship indeed can be identified in face-to-face daily conversation levels. This analysis is to look at how knowledge, power and politeness speech are socially integrated.

Bourdieu (1991, p. 1) firmly believes that power does not stand per se. He sees the need a deeper explanation on how other social elements such as social status, economic factors and knowledge are integral and set power. Therefore, in line with this idea, Foucault in his power analysis shows his interest not only in workplace where asymmetrical power relationship is definite, but also in a very small scale of social interaction: daily conversation.

From this point of view, this attempt is to present the recent data taken from my observation in my around. The given situation pointed out the shared-interest: surfing life. The setting in which the relevant data collected is a party. The setting indicates two interlocutors among Australian and Germanic who are arguing about going to surf. It seems to me that they are socially distant because they just got to know to each others. From Brown and Levinson belief (Bowe&Martin, 2009, p. 28), social distance among the interactants can allow them to significantly use the linguistic strategies, either positive or negative politeness to achieve harmony in communication.

In my perspective, I personally believe that the Australian guy is more knowledgeable of surfing compared to other interlocutor. It can be understood as he demonstrated his wide range of his experience in this context. Initially, the communication interchange flows in normal rhythm and turn taking finely coordinated. The intonation was gradually rising followed by more expressive body language. In one occasion, the conversation being captured shown below:

A: You should do what you wanna do!

B: It’s nothing about fear. But it is more about achieving the same thing (going to surf) but in different ways. We have different point of view.

When we carefully paid attention to the “A” communication pattern, we may agree that it suggests something politely assigned by the use of auxiliary verb and past participle, “should” (Blum-Kulka 1987, p. 135 cited in Bowe and Martin, 2009, p. 48, Holmes, 2006, p. 685). As writing through written text and speaking system through intonation may produce meaning differently to the same utterance, “A” intonation started rising and it means something to “B”. This is because “B” recognised, as the surf beginner, he felt fear to play surf again after a long pause. On the basis of my evaluation, dare and fear issues underline the basic “conflict” among them. It seems to me that “A” looked disappointed to “B” because of “B”’s fear. According to “A”, “B” should erase the parallel fear to successfully surf. Otherwise, this is not as simple as what “A” thought, according to “B”

“B” perceived that “A”’s utterance is more likely impose his negative face which presumably cause his face lost. So it is such logical consequence that cooperation tends to gradually reduce which, according to me, “B” moderately does face threatening action to keep his negative face saved. Even though it is a normal case in daily encounter to see criticisms, interruptions and disagreements, everyone, however, should take their own responsibility to maintain and defend their self image (Holmes, 2006, p. 686). From this view point, this is what “B” does, saving him from being imposed.

From the example above, the Bourdieu and Faucoult’s idea is then remarkable. As the “A” has been long time playing surf, it is likely that “A” is more experience than “B”. In term of different power that they have, we can professionally assume who is more dominant and powerful in this context. So, I would say that Bourdieu’s opinion of social factors (status, wealthy and knowledge) and Foucault’s belief that power can be also identified in small scale of social interaction definitely clarify the existence of power in every level of social life. So, in regard with linguistic politeness strategies, it is in accordance with Brown and Levinson’s view that social power plays a significant rule in politeness application. The other considerable study also suggests that superiors are not confined to use politeness. On the other hand, the lesser power, the higher level of politeness they socially behave (Morand, 2000, p. 240).

From the evidence above, it can be tentatively concluded that knowledge has potential dominated determination in daily interchange. Language as a symbol also socially determines the speakers’ position in social roles. The different level can be subsequently identified from the level of politeness strategies we used. It is evident that the higher level of politeness we employ, the lower level of social status of the conversationalist. In other words, showing deference, sheerly to more powerful person, is more likely applied by persons with lower level of power to their addressees.

References:

Bourdieu, P. (1991), Language and symbolic power. Great Britain: Polity Press.

Bowe, H & Martin K. (2007), Communication across cultures: mutual understanding in a global world. Melbourne: Cambridge University Press.

Holmes, J 2006, Politeness strategies as linguistic variables. ScienceDirect, 684-697. Retrived March 15, 2012, from http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B0080448542015121.

Morand, DA. (2000), Language and power: an empirical analysis of linguistic strategies used in superior-subordinate communication. Proquest, 235-248. Retrived March 15, 2012, from http://search.proquest.com.ezproxy.flinders.edu.au/docview/224880733?accountid=10910.

-, (2012), Konsep kuasa michel foucoult untuk analisis wacana kritis. Retrived March 13, 2012, from http://www.scribd.com/andalusianeneng/d/26994716-Konsep-Kuasa-Michel-Foucault-untuk-Analisis-Wacana-Kritis.

Posted in Linguistics | Leave a comment