Salah seorang anggota mailing-list PPIA Flinders University menulis bahwa dia sepakat dengan pernyataan yang dibuat oleh Rektor baru UGM (Universitas Gajah Mada) bahwa “Pendidikan di Indonesia butuh wawasan Internasional”, salah satunya dengan peningkatan keterampilan berbahasa Inggris.
Apakah benar dengan fasih berbahasa Inggris menunjukkan kita sebagai bangsa yang maju? Bagaimana status bahasa Indonesia, masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang? Adakah masalah dengan bahasa Indonesia atau insentif bahasa Indonesia sehingga kita kurang atau tidak mempercayainya sebagai salah satu alat untuk mencapai “kemajuan” itu sendiri? Itulah beberapa pertanyaan yang kuhiraukan mengingat bahasa, diakui atau tidak, merupakan salah satu identitas kita sebagai bangsa.
Menurutku tidak ada yang salah kita belajar bahasa apapun sebagai usaha untuk mencapai apa yang kita sebut “kemajuan”. Adalah hak bagi tiap warga dari negara yang sudah merdeka untuk mengembangkan potensi yang ada, termasuk pilihan bahasa apa yang mau dipelajari. Ketika kita belajar bahasa Inggris misalnya dan kemudian kita kehilangan “penghormatan” terhadap bahasa Indonesia, itulah sebuah awal krisis bagi sebuah bangsa.
Bahasa bukanlah alat komunikasi belaka, tetapi menunjukkan dominasi juga. Logika pembuktian argumentasi tersebut bisa dilacak secara sederhana. Jika kita, orang Indonesia, berinteraksi dengan orang Australia, kira-kira bahasa apa yang kita pakai. Sangat besar kemungkinannya kalau kita akan menggunakan bahasa Inggris. Kenapa? Salah satu alasannya adalah karena orang Australia tersebut tidak paham bahasa Indonesia. Lalu kenapa mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sedangkan kita bisa faham bahasa Inggris. Tentu saja karena mereka tidak belajar dan kita belajar.
Tentu saja ada “insentif” bahasa mengapa kita belajar bahasa tertentu. Contohnya, dengan bisa berbahasa Inggris kita akan diuntungkan secara ekonomi. Karena bahasa Inggris merupakan salah satu prasyarat dalam pasar global. Dengan kata lain, dibalik motivasi kita untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris, ada intrik terpendam, yang tak terluapkan, bahwa ingin hidup lebih baik. Mereka, orang Australia, barangkali tidak memiliki asumsi seperti bahwa dengan belajar bahasa Indonesia, taraf hidup mereka akan naik.
Dari sudut pandang inilah, bisa kita lihat kekuatan atau dominasi satu bahasa atas bahasa yang lain. Memang tidak sesederhana logika yang dipakai untuk bisa ambil kesimpulan yang mumpuni. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa dominasi sebuah bahasa tidak semata-mata berdiri sendiri. Kekuatan atau kekuasaan bahasa juga terkait dengan kuatnya tingkat ekonomi, pendidikan termasuk politik atau militer dimana bahasa tersebut berlaku.
Keinginan untuk hidup yang lebih baik itulah yang menurut saya telah memotivasi, baik secara individu ataupun lembaga untuk membumikan bahasa Inggris di atas “keelokan” bahasa Indonesia yang setelah sekian tahun mengorbankan darahnya demi persatuan. Ada satu hal penting yang akan terus menerus susut dalam penerapan bahasa Inggris: JIWA. Definisinya jiwa yang dipakai dalam konteks ini adalah jiwa kita sebagai bangsa, mulai dari pola pikir hingga kita bersikap termasuk pola pandang terhadap bangasa sendiri.
Kita menyadari bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari akal. Menurut Chomsky, bahasa melambangkan otak (akal) kita. Dengan kata lain, representasi bahasa, tutur maupun lisan, merupakan terapan dari benang-benang pemikiran kita. Oleh karenanya, bahasa begitu sangat penting untuk dapat menyampaikan pesan secara tepat sehingga terjadi komunikasi. Pemilihan bahasa sebagai media penyampaian pesan, Saussure (1983), Fairclough (2001), Ermida (2006) berpendapat, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, akan tetapi juga melambangkan status dan alat dominasi untuk mengekalkan status penggunanya.
Dalam penggunaan, pembelajaran bahasa Inggris (misalnya), berdasarkan argumentasi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ada usaha untuk menaikkan derajat atau status (convergence) pengguna dari bahasa (Indonesia) (Yule, 2010). Hal tersebut dilakakukan untuk dapat berasimilasi dengan budaya atau bahasa yang lebih dominan. Akan tetapi tidak semua pengguna bahasa (Indonesia) memahami bahwa usaha tersebut merupakan cikal bakal bahasa mengarah pada penurunan nilai (Crystal, 1991). Salah satu dampaknya, kita sebagai bangsa merasa tidak butuh, apalagi bangga, untuk mendalami dan menjaga salah satu kekayaan bangsa kita sendiri, yaitu bahasa, demi menggapai satu “kesemuan” belaka, yaitu status.
Meski begitu, perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini bias. Oleh karena itu, selalu terbuka ruang untuk masukan dan diskusi.