Bahasa dan Status

Salah seorang anggota mailing-list PPIA Flinders University menulis bahwa dia sepakat dengan pernyataan yang dibuat oleh Rektor baru UGM (Universitas Gajah Mada) bahwa “Pendidikan di Indonesia butuh wawasan Internasional”, salah satunya dengan peningkatan keterampilan berbahasa Inggris.

Apakah benar dengan fasih berbahasa Inggris menunjukkan kita sebagai bangsa yang maju? Bagaimana status bahasa Indonesia, masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang? Adakah masalah dengan bahasa Indonesia atau insentif bahasa Indonesia sehingga kita kurang atau tidak mempercayainya sebagai salah satu alat untuk mencapai “kemajuan” itu sendiri? Itulah beberapa pertanyaan yang kuhiraukan mengingat bahasa, diakui atau tidak, merupakan salah satu identitas kita sebagai bangsa.

Menurutku tidak ada yang salah kita belajar bahasa apapun sebagai usaha untuk mencapai apa yang kita sebut “kemajuan”. Adalah hak bagi tiap warga dari negara yang sudah merdeka untuk mengembangkan potensi yang ada, termasuk pilihan bahasa apa yang mau dipelajari. Ketika kita belajar bahasa Inggris misalnya dan kemudian kita kehilangan “penghormatan” terhadap bahasa Indonesia, itulah sebuah awal krisis bagi sebuah bangsa.

Bahasa bukanlah alat komunikasi belaka, tetapi menunjukkan dominasi juga. Logika pembuktian argumentasi tersebut bisa dilacak secara sederhana. Jika kita, orang Indonesia, berinteraksi dengan orang Australia, kira-kira bahasa apa yang kita pakai. Sangat besar kemungkinannya kalau kita akan menggunakan bahasa Inggris. Kenapa? Salah satu alasannya adalah karena orang Australia tersebut tidak paham bahasa Indonesia. Lalu kenapa mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sedangkan kita bisa faham bahasa Inggris. Tentu saja karena mereka tidak belajar dan kita belajar.

Tentu saja ada “insentif” bahasa mengapa kita belajar bahasa tertentu. Contohnya, dengan bisa berbahasa Inggris kita akan diuntungkan secara ekonomi. Karena bahasa Inggris merupakan salah satu prasyarat dalam pasar global. Dengan kata lain, dibalik motivasi kita untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris, ada intrik terpendam, yang tak terluapkan, bahwa ingin hidup lebih baik. Mereka, orang Australia, barangkali tidak memiliki asumsi seperti bahwa dengan belajar bahasa Indonesia, taraf hidup mereka akan naik.

Dari sudut pandang inilah, bisa kita lihat kekuatan atau dominasi satu bahasa atas bahasa yang lain. Memang tidak sesederhana logika yang dipakai untuk bisa ambil kesimpulan yang mumpuni. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa dominasi sebuah bahasa tidak semata-mata berdiri sendiri. Kekuatan atau kekuasaan bahasa juga terkait dengan kuatnya tingkat ekonomi, pendidikan termasuk politik atau militer dimana bahasa tersebut berlaku.

Keinginan untuk hidup yang lebih baik itulah yang menurut saya telah memotivasi, baik secara individu ataupun lembaga untuk membumikan bahasa Inggris di atas “keelokan” bahasa Indonesia yang setelah sekian tahun mengorbankan darahnya demi persatuan. Ada satu hal penting yang akan terus menerus susut dalam penerapan bahasa Inggris: JIWA. Definisinya jiwa yang dipakai dalam konteks ini adalah jiwa kita sebagai bangsa, mulai dari pola pikir hingga kita bersikap termasuk pola pandang terhadap bangasa sendiri.

Kita menyadari bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari akal. Menurut Chomsky, bahasa melambangkan otak (akal) kita. Dengan kata lain, representasi bahasa, tutur maupun lisan, merupakan terapan dari benang-benang pemikiran kita. Oleh karenanya, bahasa begitu sangat penting untuk dapat menyampaikan pesan secara tepat sehingga terjadi komunikasi. Pemilihan bahasa sebagai media penyampaian pesan, Saussure (1983), Fairclough (2001), Ermida (2006) berpendapat, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, akan tetapi juga melambangkan status dan alat dominasi untuk mengekalkan status penggunanya.

Dalam penggunaan, pembelajaran bahasa Inggris (misalnya), berdasarkan argumentasi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ada usaha untuk menaikkan derajat atau status (convergence) pengguna dari bahasa (Indonesia) (Yule, 2010). Hal tersebut dilakakukan untuk dapat berasimilasi dengan budaya atau bahasa yang lebih dominan. Akan tetapi tidak semua pengguna bahasa (Indonesia) memahami bahwa usaha tersebut merupakan cikal bakal bahasa mengarah pada penurunan nilai (Crystal, 1991). Salah satu dampaknya, kita sebagai bangsa merasa tidak butuh, apalagi bangga, untuk mendalami dan menjaga salah satu kekayaan bangsa kita sendiri, yaitu bahasa, demi menggapai satu “kesemuan” belaka, yaitu status.

Meski begitu, perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini bias. Oleh karena itu, selalu terbuka ruang untuk masukan dan diskusi.

Posted in Linguistics | Leave a comment

Hati yang bening

Ditengah-tengah kesibukan dikejar-kejar tugas akhir matakuliah, ada kesibukan lain yang tak kalah menderanya dari hal yang pertama. Lamunan. Larut malam memang tak menelan seluruh kehidupan manusia. Justru saat senyap seperti itulah, beberapa atau bahkan sekian pasang mata masih awas, seperti pantulan sinar matahari siang hari.

Angan-angan terus berjalan. Tak ada rambu yang mengaturnya. Ia terus melaju kearah yang tak pasti. Kemudian kuhentikan sejenak, membaca guratan-guratan gambar yang tertempel di dinding dunia maya. Mata tertuju dengan teduhnya, pada keelokan gambar rembulan di matanya. Tidak tahu apakah ini kuhitung sebagai suatu kebetulan, lalu dipojok kiri bawah layar leptopku muncul namanya. Simbol kecil tersebut menggelisahkan hati.

Aku terus diam diri sejenak, menghela nafas, mengingat sebuah perjalanan yang kurasa sudah lama kutempuh. Sebuah mata rantai satu kejadian atas kejadian yang lain telah membawaku dan kini berhenti pada sang putri. Dia kini yang menjadi rambu perjalananku itu sendiri, yang kupatuhi sebagai penunjuk dalam arus deras rasa yang terus mengucur.

Aku ingin mendekapnya dalam rindu dan terus menjaganya sampai esok pagi mengumbar kembali.

Untuk hujan yang tak kunjung turun

Adelaide, 21, 11, 12

Posted in Renungan | Leave a comment

Memprovokator atau memprovokasi?: Sebuah fenomena berbahasa Indonesia

Pengantar

Sebuah obrolan ringan terjadi disore hari ketika saya sedang mencuci pakaian di Laundry FMC Flats di mana saya tinggal. Saya tanya begini, “Mbk, nanti setelah kelar S3, ada keinginan nggak untuk tinggal dan bekerja di sini (Australia)?. Gajinya kan bagus..!”.Kalau orang pintarnya pada tinggal di sini semua, terus siapa dong yang “memprovokator” ((tertawa)) di Indonesia?”. Itulah jawaban, kurang lebih, yang terdengar darinya. Tulisan ini akan mengulas fungsi dan makna kata “memprovokator”, baik definisi berdasarkan bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia pada .

Kata “provokasi” sebagai kata kerja disadur dari kata bahasa Inggris yaitu “provoke”. Oxford Edvanced Learner’s Dictionary memaknai kata tersebut sebagai “to cause a particular reaction or have a particular effect”. Sebagai salah satu contoh, dari sumber yang sama, misalnya “The announcement provoked a storm of protest“.

Sementara KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan kata “terprovokasi” sebagai “terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negarif”. Contoh, “pengunjuk rasa sempat terprovokasi”. Sebagaimana kata yang digunakan dalam konteks ini adalah kata kerja berimbuhan atau berawalan “mem”, maka kata tersebut memiliki arti aktif sehingga menjadi “memancing atau mempengaruhi”.

Karena merasa tidak “nyaman” dari penggunaan kata tersebut, baik dari segi fungsi dan maknanya, maka kupertegas lagi kejelasan makna kata tersebut kepada yang bersangkutan. “Emang apa Mbk artinya kata “provoke?”. Jawabnya, “Kalau buat gue sich kata tersebut memiliki kata arti positif”. Sekali lagi saya tidak menanyakan konotasi makna kata tersebut. Jadi, konfirmasipun tidak menghasilkan kejelasan apa-apa.

Fungsi dan Makna

Kata tidak pernah sepi dari makna, baik makna denotasi maupun konotasi, memang. Meski pengguna bahasa memiliki kebebasan untuk memilih kata, akan tetapi, menurut penulis, pengguna bahasa hendaknya “menyadari” tiap kata yang dipilihnya. Menurut Saussure (1983), kapasitas atau kecakapan kita memahami fungsi, makna dan penerapannya dalam kalimat mencakup unsur-unsur pembangun pemahaman ilmu bahasa (science of language).  Sehingga pada tataran ini, menurut penulis, pencapaian pemahaman ini bisa diukur pada ranah komunikasi yang sangat privasi, yaitu pengguna bahasa tersebut.

Kembali pada kalimat “Kalau orang pintarnya pada tinggal di sini semua, terus siapa dong yang “memprovokator” di Indonesia?” di atas, kata “memprovokator”, sebagai pokok ulasan dalam tulisan ini, bisa dianalisis dari dua sudut pandang: fungsi dan makna.

Secara sintaksis, fungsi sebuah kata merujuk pada posisi sebuah kata tersebut dalam kalimat. Kata bisa berfungsi sebagai subjek (S) atau pelaku, kata kerja (KK) atau predikat, dan atau objek (O) atau pelengkap. Bagaimana dengan fungsi kata “memprovokator” di atas?

Dari kalimat utuh tersebut, dapat kita pahami bahwa kata yang memiliki awalan mem (dalam bahasa Indonesia) menunjukkan fungsi kata kerja (KK). Kata tersebut sejajar secara fungsi dengan kata misalnya kata mengantar, meneliti dan mencangkul. Dengan demikian, menurut penulis, perlu ada revisi dari penggunaan kata tersebut sehingga kata tersebut kembali pada fungsi awalnya. Meski kata tersebut jelas-jelas disadur dari bahasa Inggris, penyesuaian penggunaannya kedalam bahasa saduran juga perlu dipertimbangkan. Sufiks (akhiran) -or merupakan saduran dari bunyi nasal –eur dari kata asalnya (provocateur) yang berfungsi sebagai kata benda (KB).

Dalam konteks ini, penulis mengidentifikasi adanya ketidak-linear-an antara fungsi dan penggunaan kata memprovokator. Bila dipilah, terdapat dua fungsi dari kata tersebut: KK dan KB. Imbuhan mem- tentu mengindikasikan kata kerja. Sementara akhiran -or menunjukkan fungsi kata benda. Jika dilihat secara menyeluruh dari kalimat “Kalau orang pintarnya pada tinggal di sini semua, terus siapa dong yang “memprovokator” di Indonesia?” , dapat kita telaah bersama bahwa posisi atau fungsi yang dikehendaki dari susunan kalimat tersebut adalah memprovokator sebagai KK. Sehingga diteliti dari fungsinya, satu kata tidak pernah menjabat dua atau lebih fungsi dalam satu posisi. Berdasarkan aturan fungsi kata dalam sebuah kalimat, dengan demikian, manakah yang lebih mewakili kaidah sintaksis bahasa Indonesia, memprovokator atau memprovokasi?

Perlu digarisbawahi bahwa pemilihan kata sangat lekat dengan penciptaan makna yang  hendak disampaikan (coding/speech accomodation) maupun penerimaan pesan dari sudut pandang pendengar (decoding/listener design). Merujuk pada kaidah sintaksis bahasa Indonesia dan konteks penggunaan kata dalam kalimat tersebut, penulis condong menggunakan kata memprovokasi daripada memprovokator yang jelas-jelas tidak ditemukan kaidah sintaksisnya maupun segi makna dalam bahasa Indonesia.

Yang lebih penting dari pemilihan kata, baik memprovokator atau memprovokasi, adalah akibat makna yang ditimbulkannya. Jika kita menelisik makna kata dasarnya (provokator/provokasi), dapatlah kita jumpai makna kedua kata tersebut dalam KBBI seperti telah disinyalir pada paragraf ke 3 pada bagian pengantar. Hanya saja kata tersebut mendapatkan imbuhan, baik prefiks (awalan) ataupun sufiks (akhiran), penulis sendiri tidak menemukan dalam KBBI. Dari kondisi ini, penulis menyatakan akan adanya kerancuan baik dari segi fungsi maupun makna dari kata memprovokator dalam kaidah sintaksis bahasa Indonesia.

Kesimpulan

Meski bahasa merupakan hasil olah manusia yang bersifat kesewenang-wenangan (arbitrary), pada kenyataannya pemahaman fungsi dan makna darinya tak dapat dielakkan. Pemahaman untuk memilih kata berdasarkan fungsi dan maknanya, penulis dalam konteks ini menyamakan dengan sebuah kesadaran berbahasa. Penggunaan kata (yang tepat), pada tingkat sintaksis, akan sangat berpengaruh pada makna (yang tepat) pula. Hal demikian itu akan mengantarkan pesan efektif dalam sebuah tindak komunikasi. Jika tidak, kerancuan berbahasa terus berkembang dan berakibat pada apa yang kita sebut paralised errors.

Referensi:

Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2012). Provoke. Pengarang. Dilihat pada tanggal 12 November 2012 di http://oald8.oxfordlearnersdictionaries.com/dictionary/provoke.

Pusat Bahasa: Departemen Pendidikan Nasional (2012). Kamus besar bahasa indonesia. Pengarang. Dilihat pada tanggal 12 November 2012 di http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.

Saussure, F. de. (1983). Course in general linguistics. London: Duckworth.

Posted in Kata dan Maknanya | Leave a comment

“BESAR” vs “kecil”

Orang kecil tak pernah merasa disepelekan
atau jika dinistakan, toh tetap memilih diam saja
tak menghiraukan

apa yang mau diperbuat,
tidak ada tenaga dan kekuatan.

Orang ‘besar’
jangan sampai orang kecil salah memperlakukan
jadilah percikan api yang membara
membakar bangunan kokoh rasa hormat
yang dieluk-elukan selama ini.

Posted in Renungan | Leave a comment

Ungkapan “save” KPK dan “amankan” KPK

Dua hari belakangan ini koran dijital Tempo melaporkan tentang perseteruan antara KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) dan Kapolri (Kepolisian Republik Indonesia). Lepas dari isinya, yang menarik bagiku adalah justru beberapa “wall” di akun Facebook yang aku temui, yaitu “SAVE KPK”. Ketertarikan tersebut sebenarnya terletak pada kata “save” bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

Kata “save” (kata kerja) memiliki makna “to keep somebody/something safe from death, harm and lost” dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Contohnya, she saved  a little girl from falling into the water.

Kata “save” memiliki arti yang beragam dalam bahasa Indonesia. Menu ‘terjemah’ google diantaranya menyebutkan: menyimpan, menghemat dan menyelamatkan. Contoh kontekstualnya seperti jika ada duri atau paku melintang di tengah jalan, orang mengambilnya supaya pejalan kaki atau pengendara sepeda motor misalnya selamat. Selamat atau aman yang dimaksud disini adalah terhindarnya pejalan kaki dari kemungkinan kempesnya ban sepeda motor atau kaki orang dari tusukannya. Jadi, karena perbuatan dari mengalihkan duri atau paku itulah orang atau kendaraan menjadi aman atau selamat.

Dalam wacana politik ke-Indonesia-an, kata “aman” sering mengalami apa yang disebut meaning shift, atau pergeseran makna. Salah satu tujuan dari penggandaan makna ini diantaranya adalah untuk memperhalus ungkapan. Misalnya, polisi mengamankan pelaku pencuri kendaraan sepeda motor. Kata mengamankan tidak berarti mengamankan sebagaimana makna literalnya. Pemilihan kata tersebut merupakan proses negosiasi antara menyampaikan pesan yang “dianggap” blak-blakan (blunt) dan terdengar “berbudi”. Kata tersebut berarti bisa juga menangkap atau memenjarakan. Contoh, Petinggi Polri: Segera Amankan (Penyidik KPK) ”N” (Tempo, 5 Oktober, 2012 lihat di http://www.tempo.co/read/news/2012/10/05/063434017/Petinggi-Polri-Segera-Amankan-Penyidik-KPK-N).

Dalam konteks “save KPK” dalam beberapa wall di Facebook mengenai ‘perseteruan’ KPK dan Polri ini, arti kata “save” memiliki makna yang kabur jika diterjemahkan ke dalam bahasa ini. Kekaburan ini terjadi dengan memperhatikan konteks dimana kata “save” memiliki arti “aman” (amankan) dalam bahasa Indonesia. Satu sisi arti kata tersebut bisa bermakna positif. Akan tetapi, tanpa diragukan, kata tersebut juga syarat timbulnya tendensi makna negatif.

Makna positif yang dimaksud adalah jika penggunaan kata tersebut tetap dalam bahasa Inggris. Kata tersebut tidak perlu diterjemah kedalam bahasa Indonesia. Sense pembaca, menurutku, lebih bisa mencapai pemahamanan apa yang diinginkan dari kata tersebut. Dengan demikian, ungkapan tersebut menunjukkan sikapyang jelas untuk mendukung KPK (untuk diselamatkan).

Akan tetapi jika kemudian sense yang kita pakai dalam menerjemah kata tersebut menggunakan sudut pandang politik (ke-Indonesia-an), dari yang semula orang yang hendak mendukung (eksistensinya KPK), bisa berubah sebaliknya, yaitu amankan KPK. Hal tersebut bisa berarti bubarkan (KPK). Jika yang dimaksud “save KPK” supaya kita mendukung tindakan Novel , salah satu penyidik KPK”, dalam penyidikan kasus simulasi SIM (Surat Izin Mengemudi), rasa-rasanya sikap tersebut berubah menjadi tidak lagi mendukung (makna negatif) karena makna kata “save” yang berarti “amankan, penjarakan” dalam bahasa Indonesia itu. Sehingga bisa dipahami jika kita menghendaki supaya KPK, dalam hal ini Novel, supaya menghentikan aktivitas penyidikannya atas ketua Kapolri, Djoko Susilo.

Proses penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa target membutuhkan banyak faktor penting yang perlu dilibatkan. Menurut Crystal (1992), penerjemahan membutuhkan pengetahuan yang memadai dibidangnya (the field of knowledge), kondisi sosial budaya beserta konotasi rasa (emotional connotation) dalam bahasa target. Menurut pengarang, pengertian unsur-unsur dasar seperti tersebut di atas dapat mengantarkan makna yang dikehendaki, sehingga tidak terjadi perselisihan antara sumber teks pertama (sumber bahasa asli) dan teks kedua (targeted languages).

Mengapa kita menggunakan ungkapan “SAVE KPK”?. Kemungkinan potensi erosi makna, diakui atau tidak, sangat berpeluang, apalagi didukung oleh minimnya pengetahuan seperti apa yang telah disinyalir oleh Crystal. Jika bahasa Indonesia dirasa tidak lagi mampu memehuni kebutuhan pemakainya, terbukti disini bahwa bahasa Indonesia memiliki kata yang sepadan dengan kata “save”, yaitu menyimpan, menghemat, mengamankan dan menyelamatkan. Persoalan pribadiku disini adalah mengapa kita tidak memilih misalnya ungkapan “Selamatkan KPK” saja daripada “save KPK” sebagaimana tiap individu memiliki sense yang bermacam-macam terhadap satu bahasa, apalagi lintas bahasa.

Posted in Linguistics | Leave a comment

England vs Englaland

Sering kita jumpai kata England. Asal muasal kata tersebut memiliki sejarah tersendiri. kata England berasal dari sebuah nama suku, yaitu the Angles. Pada mulanya kata England berasal dari dua kata, yaitu Angles dan Land (Englaland) yang berarti the land of the Angles.

Posted in Sejarah Kata | Leave a comment

Bahasa Inggris, Inggris, Amerika Serikat dan Status kebahasaan

Bahasa masih tetap menjadi aset penting bagi eksistensi sebuah bangsa. Hampir semua orang akan menolak berfikir bahwa pencapaian perkembangan giopolitik dan gioekonomi sebuah bangsa akan dipilah dari peran bahasa negara yang bersangkutan. Tulisan ini akan menitik beratkan kajiannya pada pembahasan bahasa Inggris, sejarah penyebaran hingga mencapai apa yang disinyalir oleh Crytal (2006) sebagai “a global language”.

Dalam kajian filologi, kajian yang fokus terhadap cikal bakal dan pengklasifikasian bahasa, bahasa Inggris sebagai bagian dari Indo-European language merupakan turunan (decended) dari Germanic Language (Helene&Laird, 1957, p. 12-13). Diantara bahasa yang berada dalam satu rumpun adalah seperti bahasa Belanda, German, Swedia, Norwegia dan Irlandia. Pengklasifikasian ini didasarkan pada beberapa aspek seperti tata bahasa, kosa kata, dan pengucapan.

Menurut Crystal (1988), imperialisme Inggris tiba di Amerika pada abad ke-17. Peristiwa tersebut menjadi titik pangkal pelembagaan bahasa Inggris di benua tersebut. Dari sejarah ini pulalah, bagaimana bahasa Inggris kemudian terus berkembang terus mengglobal. Crystal (1988) berargumentasi bahwa titik balik peran Amerika dalam penyebaran bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional merujuk pada pokok-pokok penting terutama pada abad ke-19. Adapun aspek-aspek tersebut diantaranya adalah: i) Amerika sebagai negara adikuasa dan ii) Amerika sebagai pemuka dalam bidang keilmuan, tekhnologi dan industri budaya.

i) Amerika sebagai negara adidaya

Argumentasi bahwa kolonialisasi Inggris terhadap Amerika dianggap lemah dalam kemapanan bahasa Inggris hingga mencapai status seperti yang dikenal hari ini. Menurut Crystal (1988), pada akhir abad ke-19, perekonomian Amerika Serikat melaju dengan pesatnya. Peran ini menggantikan posisi Inggris sebagai the world’s leading industrial and trading nation. Pencapaian gemilang ini menciptakan ketergantungan dunia luar yang begitu tinggi terhadap sistem-sistem yang dibangun oleh Amerika Serikat. Setelah Perang Dunia ke-2, Amerika (termasuk Uni Soviet) memegang kontrol terhadap dunia barat (the Western world). Adalah sebuah kenyataan bahwa Amerika dan Uni Soviet terus berjuang tarik menarik kekuasaan berebut pengaruh dari dunia luar, proses aktualisasi ini kemudian melahirkan apa yang kita kenal dengan “perang dingin”. Meski perang dingin berakhir, liberalisasi faham seperti kapitalisme ekonomi dan sistem negara demokrasi terus berlanjut menjadi referensi sebagai paham yang tak padam.

Kenyataan Amerika ini sebagai negara adidaya, tak pelak lagi menjadi faktor penting dalam ranah kebahasaan. Dengan kata lain, Amerika dan bahasanya (Inggris) adalah menjadi dua keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Mau tidak mau, kondisi ini mengantarkan dunia untuk mempelajari bahasa Inggris terutama untuk sebuah tujuan ekonomi (Graddol, 1996, p. 191). Salah satu contoh bukti nyata peran kebahasaan yang bisa dengan kasat mata (grossly observable) setelah runtuhnya perang dingin (Cold War) adalah Polandia. Adalah kebijakan pendidikan di Polandia bahwa bahasa Rusia merupakan mata pelajaran wajib di negara tersebut, kebijakan tersebut ditarik oleh pemerintah setempat dan digeser oleh bahasa Inggris. Faktor tersebut di atas itulah yang telah memperlebar ruas akan pentingnya atau butuhnya belajar bahasa Inggris bagi masyarakat luar Amerika (Blake, 1996; Crystal, 1997; Leitner, 1992).

ii) Amerika sebagai pemuka dalam bidang keilmuan, tekhnologi dan industri budaya

Seperti disinyalir pada paragraf sebelumnya, tidak hanya perkembangan ekonomi yang menimbulkan ketergantungan dunia luar akan kebutuhan belajar bahasa Inggris. Perlu digarisbahawi juga bahwa Amerika terus tumbuh dan berkembang dengan keilmuan (science) dan tekhnologinya (tulisan ini hanya fokus pada sektor keilmuan saja). Para ilmuwan Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Edison, Samuel Morse menjadi magnet bagi dunia luar untuk mempelajari bahasa Inggris.

Kontribusi keilmuan Amerika juga dapat dilihat dari publikasi dibidang ilmiah. Philosophical Transactions merupakan salah satu contoh badan publikasi komunitas keilmuan dunia menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, aspek penting dari penyebaran bahasa Inggris adalah terjadi penggeseran (shift) bahasa dari satu bahasa ke bahasa Inggris. Archivos de Investigacion Medica merupakan nama jurnal kesehatan di Meksiko yang berubah nama menjadi Archives of Medical Research (Graddol, 1997, p. 9). Contoh lain dari fenomena language shift ini adalah juga terjadi di Perancis. Viereck (1996) menjelaskan bahwa jurnal ilmiah seperti Zeitschrift fur Tierpsychologie (bahasa Jerman) berubah nama menjadi Ethology pada tahun 1986.

Barangkali masih bisa kita temui banyak faktor pada literatur-literatur yang menyebutkan sumbangannya terhadap mengglobalnya bahasa Inggris. Kedua aspek, sebagaimana disebutkan di atas, menjadi pokok penting, jika tidak mau dibilang utama, bagaimana bahasa Inggris dapat mencapai status seperti sekarang ini. Status bahasa Inggris hari ini merupakan representasi bahasa Latin pada sekitar abad ke-15.

Posted in Linguistics | Leave a comment

The Big Issue dan Konteks Ke-Indonesia-an

Terjemahan harfiah dari “The Big Issue” bisa berupa “permasalahan besar” dalam bahasa Indonesia. Bentuk masalahnya bisa beragam. Contoh nyatanya bisa berupa permasalahan pribadi, ekonomi, pendidikan, budaya dan politik. Meski begitu perlu ada penggarisbawahan jika besar kecilnya masalah sangat bergantung pada kadar pola pengukuran tiap individu. Tentu saja kadar tersebut bisa berlaku bagi orang tertentu, akan tetapi tidak dapat diimplementasikan oleh atau pada lain orang.

Tulisan ini tidak bermaksud sekedar memaparkan terjemahan frase tersebut dari bahasa Inggris kedalam bahasa Indonesia. Akan tetapi sebagai sebuah usaha untuk menjembatani terjemahan harfiah beserta dimensinya yang akan diurai secara ringkas. Dengan kata lain, mengetahui lebih dalam apa yang terjadi dibalik kata-kata tersebut akan dipaparkan. Seterusnya, tulisan ini juga akan membahas keterkaitannya dalam konteks ke-indonesia-an.

Sebenarnya frase tersebut merupakan nama sebuah majalah di Inggris yang mulai terbit pada tahun 1991-an. Penerbitan majalah tersebut terkait dengan permasalahan sosial yang berkembang terutama di negara tersebut, yaitu isu tuna wisma (homeless). Distributor utama majalah tersebut sengaja direkrut dari kalangan mereka yang bermasalah dengan tempat tinggal. Dengan kata lain, penerbitan majalah ini bertujuan untuk memberikan pekerjaan kepada mereka yang dimaksud untuk dapat menghasilkan uang dari penjualannya. Meski pelaksanaannya sering dilakukan terutama di jalan-jalan, akan tetapi inisiatif tersebut dimaksudkan supaya mereka lebih mandiri dan terhindar dari “minta-minta” (begging).

Penjualan majalah tersebut, setahu saya di Adelaide, South Australia, bisa kita temui di kampus-kampus atau di tempat layanan umum seperti di blok Rundle Mall. Mereka menjualnya tanpa ada stand khusus. Mereka cukup menjajakannya sambil berdiri dengan majalah dipampang ditangannya.

Apa keterkaitan antara “The Big Issue” di Australia dan para tuna wisma dalam konteks ke-indonesia-an?. Tentu diperlukan jawaban yang comprehensive untuk mendiskusikan masalah ini. Hanya saja, dari perspektif pribadi, ide tersebut merupakan gagasan yang cemerlang bagaimana menaikkan tingkat ekonomi masyarakat kelas bawah secara umum.

Seperti diketahui bersama jika dalam beberapa tahun ini negara Indonesia menggulirkan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang nyaman bagi penduduknya. Strategi tersebut akan tetapi tidak berlangsung secara mulus. Program tersebut menuai banyak kritik sebagaimana diberitakan banyak media. Salah satu kekurangan yang disinyalir dari program tersebut adalah bahwa program tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah (ekonomi) dalam jangka panjang. Karena sebenarnya program tersebut tidak berusaha menyelesaikan isu paling mengakar dari permasalahan ekonomi yang ada: yaitu kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran.

Mengidentifikasi akar masalah jadi begitu penting. Dengan begitu, kita, terutama para pembuat kebijakan, lalu dapat mencari penyelesaian yang lebih tepat. Jika kita ingat pepatah “lebih baik memberikan pancing atau kail dari pada ikannya”, barangkali pepatah ini dapat memberi sedikit gambaran bagaimana kita sebaiknya mencari jalan keluar dari kesenjangan ekonomi tersebut.

Contoh bagaimana majalah “The Big Issu” ini diterbitkan, prioritas utama distributornya, menurutku, gagasan inspiratif untuk mengurangi ketergantungan dan menciptakan masyarakat yang lebih mandiri. Tentu saja pekerjaan ini butuh kerjasama dan kekompakan dari berbagai instansi, untuk menjadi Indonesia yang lebih “merdeka”.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Cerita tentang sebuah negeri

Hampir semua orang mengeluh
negeri yang mereka tinggali penuh sesak
dengan kemiskinan dan kejahatan
masyarakatnya hidup sejalan dengan kemelaratan
hidup susah di jaman modern seperti sekarang
media menyebarkan berita
sumber utamanya ketidakmerataan ekonomi
para agamawan tetap mengkhotbahkan surga dan neraka
tidak mendengar suara ‘kesakitan’ warganya
pencurian terjadi tidak hanya di rumah-rumah
sepeda motor gampang melayang di tepi jalan
sebagian orang berkeluh kesah tentang harga bahan dasar makanan
sebagian yang lain mengejar prestise dengan memburu model pakaian trendy
lagi-lagi media menebarkan kabar berita:
pokok utamanya ketidakmerataan ekonomi
tapi kebanyakan dari kita
tetap memikirkan diri sendiri

Posted in Renungan | Leave a comment

VoA dan Penyebaran AmE (American English)

Salah satu penyebaran bahasa Inggris secara global mula-mulanya memang terkait dengan faktor fisik, termasuk kolonialisasi dan penyebaran para penutur asli (native speaker of English) di seluruh penjuru dunia. Faktor tersebut menjadi begitu berarti terdorongnya bahasa Inggris terus menjadi bahasa yang mengglobal. Pokok bahasan tulisan ini akan fokus pada satu faktor utama yaitu penyebaran bahasa Inggris sebagai bahasa yang merangkak menjadi bahasa international; pengaruh politik, ekonomi dan kebudayaan Amerika.

Moment penting, menurut Crystal (1988), tergeraknya bahasa Inggris menuju ke arah yang lebih mengglobal yaitu pesatnya perkembangan ekonomi di dunia pada abad ke-19. Peran ini menggantikan peran Inggris setelah dua abad permanent arrival bahasa Inggris di Amerika yaitu pada abad ke-17. Melalui peran pentingya dibidang industri dan perdagangan dunia, bahasa Inggris terus menjadi bahasa yang begitu berpengaruh (Crystal, 1988).

Pokok berikutnya adalah keterlibatan Amerika pada perang dunia ke 2 (World War II). Faktor tersebut menyebabkan terjadinya kontak antara Amerika, sebagai native speaker of English, dengan dunia luar, termasuk bahasa dan aktivitas perdagangan. Peran yang juga tidak kalah pentingya peran Amerika setelah perang dunia ke-2. Amerika dan Uni Soviet tampil sebagai negara adikuasa yang pada akhirnya menimbulkan perang dingin (Cold War). Amerika menjadi pemimpin bagi negara-negara barat (Western world) yang berarti bahasanyapun menjadi bahasa yang dominan yang digunakan hampir seluruh sistem dalam taraf internasional. Kondisi geopolitik dua kekuatan Amerika dan Uni soviet juga berdampak pada tarik menarik pada faktor kebahasaannya juga.

Atas dasar perebutan kekuasaan inilah, berdirilah stasiun radio yang begitu terkenal: the Voice of America. VOA ini menjadi lembaga stasiun penyiaran resmi dari pemerintah federal Amerika Serikat dibawah naungan the Broadcasting Boards of Governors (BBG). Program-programmnya tidak hanya tersiar melalui on air saja. Akan tetapi pelayanannya berkembangan pada penyediaan informasi melalui TV dan Internet.

Selain demi kepentingan penyebaran informasi, rujukan untuk konsep demokrasi, liberation movements dan freedom fighters, tTerbentuknya alat transmisi gelombang ini tidak lain dan tidak bukan juga bertujuan untuk penyiaran dan perluasan bahasa Inggris (Amerika). Jika kita akses situs VOA, maka dengan mudah akan tersaji menu “learning English”. Sisi (site) menawarkan berbagai topik terkait pengembangan kebahasaan (Inggris). Contohnya, menu “words and their stories” menyajikan, sebagaimana judulnya, berbagai aspek kata dan sejarahnya. Sehingga kita dapat belajar bagaimana sebuah kata ditemukan (coined) dan kontek penggunaannya.

Dari sekelumit pokok tersebut, jelaslah bahwa tercapainya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional bukanlah tanpa melewati sejarah panjang dan penuh usaha. Tidak hanya faktor jumlah penutur asli (native speakers) yang dimilikinya, akan tetapi seberapa besar peran (roles) bahasa tersebut dalam kancah manca negara, termasuk aktivitas industri dan perdagangan.

Posted in Linguistics | Leave a comment